Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENGERAHAN PASUKAN ISLAM KE AL HIND PADA MASA DINASTI UMAWIYAH


Pada masa kekhalifahan dinasti Umawiyah. Tahun 42 H, Al Harits bin Murrah Al Ubadi kembali memimpin pasulan muslimin ke wilayah Qiqan untuk menghadang pasukan koalisi India. Koman dan Al Harits dan sebagian pasukannya syahid dalam misi ini.

Pada tahun yang sama, di wilayah sindh (pakistan) terjadi per-tempuran antara pasukan sindh dengan pasukan muslim yang di pimpin oleh Rasyid bin Amru. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin.

Tahun 44 H, Al Muhallab bin Abi Safroh bersama pasukannya menyerbu basis kekuatan musuh di Qandabil (kech Gandawa), lalu bergerak ke bannah (Banu Kahat), Al Ahwar (Lahore) kemudian Qiqan.

Pasukan Muhallab berhasil memporak-porandakan kekuatan musuh di wilayah tersebut. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama. Setahun kemudian, musuh kembali mampu membangun kekuatan.

Setahun kemudian, 45 H. Pasukan islam bergerak ke wilayah Makran (Balochistan) dan Qiqan (Kalat) untuk mengamankan wilayah umat islam dari teror pasukan musuh. Misi ini dipimpin oleh seorang Tabi'in bernama Abdullah bin Sawwar Al Ubadi.

Dua tahun berikutnya, tepat 47 H. Abdullah bin Sawwar bersama pasukannya kembali bergerak ke wilayah Qiqan. Dalam operasi ini Abdullah bin Sawwar dan beberapa pasukannya syahid.

Operasi pembebasan Makran selanjutnya dipimpin oleh seorang salabat mulia bernama Sinaan bin Salmah Al Hazali. Pasukan berhasil memukul mundur musuh dari wilayah makran.

Operasi lain dibawah pimpinan Rasyid bin Amru dalam rangka penumpasan pemberontakan dan provokasi musuh di Qiqan (Kalat) kemudian ke Sindh. Komandan Rasyid bin Amru syahid di Sindh tahun 50 H.

Pada tahun 53 H, Abu Al Asy'as Abbad bin Ziyad memimpin pasukan menyisir wilayah Qandahar hingga Multan untuk menumpas pergerakan pasukan musuh.

Selanjutnya pasukan Al Munzir bin Jaarud Al Ubadi bergerak membuka frant baru ke wilayah Qiqan, Buqan, dan Qasdar. Komandan Al Munzir bin Jaarud gugur syahid di Qasdar.

Tahun 75 H, Said bin Aslam bin Zur'ah Al Kilaaby bertugas mengamankan wilayah Sindh yang sudah tunduk pusat pemerintah islam dari pemberontakan. Said bin Aslam gugur dalam misi ini.

Tugas selanjutnya diemban oleh Mujja'ah bin sa'r  At Tamimi. Mujja'ah sukses mengamankan wilayah Sindh, kemudian ia dan pasukannya bergerak membebaskan Qandabil (Kech Gandawa. Pakistan)

Gubenur Iraq, Hajjaj bin Yusuf As Saqafi menugaskan ubaidillah bin Nabhan memimpin armada laut islam dari Oman untuk membebaskan Muslimah yang disandera oleh perampok Sindh di laut Arab. Ubaidillan bin Nabhan dan sebagian besar pasukannya syahid dalam misi ini.

Selanjutnya Hajjaj bin Yusuf menunjuk Badil bin Tahfah Al Bajali untuk menuntaskan misi pembebasan sandera. Badil bin Tahfah pun Gugur syahid dalam misi ini.

Hingga Penaklukan oleh Muhammad bin Al Qasim

Ditengah tugas ribath (pengamanan wilayah perbatasan), kaum Muslimin mendapat kabar duka syahidnya khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Komandan Al Haris bin Murrah kemudian memerintahkan pasukannya untuk kembali ke kota Makran. .

Berita syahidnya khalifah Ali bin Abi Thalib RA. juga menjadi semangat baru bagi kerajaan India untuk menyusun ulang kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Mereka kemudian bergerak ke wilayah kaum muslimin.

Mendengar kabar pergerakan pasukan musyrikin India, Al Haris bin Murrah memutuskan keluar menghadang pasukan musuh di Qiqan.

Pertempuran sengit tak terelakkan, gemerincing pedang saling beradu, darah bersimbah, pekik takbir mengiringi tumbangnya satu persatu tubuh mujahid di medan laga. Al Haris bin Murrah dan sebagian besar pasukannya hari itu menghadap Rabbnya penuh kebanggaan dengan luka sabetan pedang, tusukan tombak dan tikaman anak panah. Mereka telah persembahkan yang terbaik untuk Rabbnya.

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَفَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِم مِّنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ “

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Rabb-nya mendapat rizki, mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali ‘Imran: 169-171).

Di tahun yang sama, 42 H. Pasukan muslim di bawah pimpinan Rasyid bin Amru Al Jadidy juga terlibat kontak senjata dengan pasukan kerajaan Brahma Sindh. Meski kalah di pertempuran Qiqan, dalam pertempuran ini Ummat Islam berhasil mengalahkan pasukan musuh. Pasukan Rasyid bin Amru memperoleh kemenangan dan harta rampasan dalam jumlah yang sangat besar.

Dua tahun kemudian, 44 H. Pasukan Muhallab bin Abi Safroh menyerbu kantong kekuatan musuh di Qandabil (Kech Gandawa). kemudian bergerak ke arah Bannah (Banu Kohat) setelah mengamankan wilayah Bannah, pasukan Muhallab menyisir daerah lain hingga ke Al Ahwar (Lahore) [semua wilayah yang disebutkan di atas saat ini merupakan bagian dari wilayah Pakistan]. Setelah sukses mengontrol wilayah tersebut, Muhallab bin Abi Safroh bertolak ke Qiqan. Di Qiqan ia dihadang oleh pasukan berkuda bangsa Turk. Kedua pasukan bertemu di medan perang dan berakhir dengan kemenangan di pihak muslim.

Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan kemudian mengangkat Abdullah bin Sawwar Al Ubadi sebagai wali untuk wilayah muslim di Sindh. Abdullah bin Sawwar lalu bergerak ke Makran bersama 4000 prajurit. Setelah menetap di Makran beberapa bulan, pada tahun 45 H, ia bersama pasukannya bergerak ke Qiqan untuk mengamankan wilayah dari teror musuh.

Kemenangan ummat Islam di Qiqan tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, pasukan musuh berhasil memukul mundur pasukan Islam yang bertugas mengamankan wilayah Qiqan.

Pada tahun 47 H, Khalifah Muawiyah kembali menugaskan Abdullah bin Sawwar untuk memimpin pasukan muslim untuk merebut wilayah Qiqan untuk kedua kalinya. Mereka lalu berhadapan dengan koalisi pasukan India dan Turk di medan laga. Abdullah bin Sawwar gugur syahid bersama sebagian besar pasukannya dalam pertempuran ini.

Khalifah Muawiyah lalu mengirim surat kepada Ziyad bin Abi Sofyan agar mengangkat pengganti komandan Abdullah bin Sawwar yang gugur syahid. Ziyad lalu menunjuk salah seorang sahabat mulia yang bernama Sinaan bin Salamah Al Hazali. Komandan Sinaan berhasil merebut wilayah Makran.

Operasi lain dilancarkan pasukan Islam di bawah pimpinan Rasyid bin Amru dalam rangka penumpasan pemberontakan dan provokasi musuh di Qiqan (Kalat), kemudian ke Sindh. Komandan Rasyid bin Amru syahid di Sindh saat bertempur melawan pasukan suku Jats pada tahun 50 H.

Tahun 53 H, Khalifah Muawiyah menunjuk Abu Al Asy'as Abbad bin Ziyad sebagai wali wilayah Sijistan. Abbad bin Ziyad kemudian memimpin pasukan menyisir wilayah Qandahar hingga Multan untuk menumpas pergerakan pasukan Musuh di setiap wilayah yang dilaluinya.

Selanjutnya, Pasukan Al Munzir bin Jaarud Al Ubadi bergerak membuka front baru ke wilayah Qiqan, Buqan dan Qasdar. Komandan Al Munzir bin Jaarud gugur syahid di Qasdar.

Tahun 75 H Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengangkat Al Hajjaj bin Yusuf sebagai gubernur Iraq, Basrah, Kufah serta wilayah timur. Hajjaj kemudian menugaskan Said bin Asalam bin Zur'ah Al Kilaaby mengamankan wilayah Sind yang sudah tunduk pusat pemerintahan Islam dari pemberontakan. Said bin Aslam gugur dalam misi ini.

Selanjutnya Hajjaj bin Yusuf mengangkat Mujja'ah bin Sa'r At-Tamimi sebagai pengganti Said bin Aslam. Mujja'ah sukses mengendalikan wilayah Sindh. Ia dan pasukannya kemudian bergerak membebaskan Qandabil (Kech Gandawa, Pakistan). Mujja'ah wafat setahun kemudian di kota Makran.

Ummat Islam kembali terusik ketika rombongan kaum muslimin yang berlayar dari Srilanka ke Iraq disandera oleh perampok India yang beroperasi di laut Arab. Korban yang berhasil lolos melaporkan kondisi yang dialami kaum muslim kepada Hajjaj. mereka meminta pertolongan dan berseru, "Yaa Hajjaj" mendengar laporan itu Hajjaj bin Yusuf bangkit. "Yaa Labbaik". Jawab Hajjaj berjanji membebaskan rombongan muslim yang tersandera.

Ia lalu mengirim surat kepada Raja Dahir, penguasa Brahma Hindu di Sindh, agar ummat Islam yang di sandera oleh perampok di wilayah kekuasaannya dibebaskan. "Prajurit mereka tak terhitung jumlahnya dan terlalu kuat untuk dikalahkan," balas Dahir menolak permintaan Hajjaj.

Mendapat jawaban ini, Hajjaj marah besar. Bagaimana mungkin sebuah kerajaan kuat takut dengan gerombolan perompak, Hajjaj menyakini ini tak lebih dari akal-akalan Raja Dhair. "Jika mereka tau mampu membebaskan masyarakat kita, maka kita yang akan membebaskan sendiri." Tekad Hajjaj untuk menyelamatkan ummat Islam yang jadi korban sekaligus memberi pelajaran kepada perompak Sind serta Raja Dahir atas perilaku mereka.

Ia lalu menugaskan Ubaidillah bin Nabhan memimpin armada laut Islam dari Oman untuk melaksanakan misi pembebasan ini. Ubaidillah bin Nabhan bertemu musuh dalam pertempuran. Ia dan pasukannya gugur syahid di tangan pasukan Sindh.

Selanjutnya Hajjaj bin Yusuf menunjuk Badil bin Tahfah Al Bajali untuk menuntaskan misi pembebasan sandera. Komandan Badil bin Tahfah pun gugur syahid dalam misi ini.

Kekalahan dua kali berturut-turut membuat Hajjaj bin Yusuf berpikir keras. Ia kumpulkan penasehat dan ahli strategi untuk meminta pandagan siapa komandan yang paling pantas untuk misi besar ini. Akhirnya diputuskan komandan yang paling berhak untuk tugas ini adalah keponakan sekaligus menantu dia sendiri. Dia adalah Muhammad bin Al Qosim As Saqafi, pemuda yang usianya belum genap 17 tahun.

Nantikan kisah pembebasan Sind dibawah komandan Muhammad bin Al Qosim di episode berikutnya.

Sumber: Futuhul Buldan, Tarikh Khalifah, Tarikh Al Islam wa Wafayat Al Mashahir wa al a'lam, Al Kamil Fi Tarikh.
close