Kisah Nabi Isa Yang Memberikan Nasihat Kepada Murid-Muridnya
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang Nabi Isa dan muridnya ketika melihat rumah ibadah yang bagus. Berikut riwayatnya:
“Menceritakan kepada kami Abdullah, Abu al-Mughirah bercerita, Shafwan bercerita, dia berkata: Menceritakan kepadaku Suraij bin ‘Ubaid, dari Yazid bin Maisarah, dia adalah Ibnu Khalis. Dia berkata: Para hawari (murid dan sahabat Nabi Isa) berkata: “Ya masîhallah (Wahai al-Masih), lihatlah rumah Allah itu, sungguh indah sekali.” (Nabi Isa) menjawab: “Amin. Amin. (Tapi) sungguh, akan kukatakan kepada kalian, bahwa Allah tidak akan membiarkan satu batu pun di masjid ini berdiri kokoh, kecuali Dia akan menghancurkannya sebab dosa-dosa penduduknya. Sesungguhnya, Allah tidak menjadikan sesuatu (yang berharga) dengan emas, perak, dan bebatuan (di masjid) ini. Sungguh, yang lebih dicintai Allah dari itu semua adalah hati-hati yang saleh (baik), dengannya Allah akan membangun bumi, dan tanpanya bumi akan dibiarkan hancur.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan al-Turats, 1992, h. 119)
Hati adalah bagian dari manusia yang mempengaruhi pergerakan jasad. Manusia yang berhati lembut, atau manusia yang berhati kasar, keduanya akan tertampak dalam gerak-gerik jasadnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR Imam Muslim):
“Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang jika dia baik maka baik pula seluruh jasad, dan jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ingat-ingatlah, (bahwa) segumpal daging itu adalah hati.” (Imam al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajâj, Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, tt, juz 11, h. 28).
Dengan kata lain, hati laiknya raja yang memerintah jasad sebagai bawahannya. Jika dia baik dan bersih, maka tindak laku yang ditampilkan akan baik dan bersih pula. Jika dia rusak dan kotor, maka tingkah gerak yang ditampakkan akan rusak dan kotor juga. Imam Ibnu Qayyim mengatakan: “al-qalb li hadzihil ah’dlâ’i kal malikil mutasharrif fîl junûdi” (hati bagi anggota badan ini seperti raja yang mengatur pasukannya) (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ighâtsah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2011, h. 9).
Nabi Isa, dalam riwayat di atas, menginginkan murid-muridnya memahami apa yang lebih dicintai Allah. Dibandingkan emas, perak, dan bebatuan yang digunakan untuk membangun rumah-Nya, Allah lebih mencintai hati yang saleh dan baik. Karena dari situlah, bumi akan dimakmurkan, dan tanpa itu pula, bumi akan hancur dengan sendirinya.
Penjelasan sederhananya begini, semegah-megahnya bangunan akan hancur dengan sendirinya jika tidak dirawat, meski tanpa sengaja untuk dirusak. Sama halnya dengan tempat ibadah, jika penduduknya sudah enggan beribadah dan tidak lagi menyembah Tuhan, arti penting untuk menjaganya akan hilang dari hati mereka, dan perlahan-lahan, tempat ibadah itu akan rusak dengan sendirinya.
Namun, jika hati yang saleh terpelihara, arti penting dari tempat ibadah akan tetap terjaga. Tanpa harus diperintah dan disuruh, hati akan menggerakkan mereka untuk terus menjaga dan merawatnya.
Karena itu, hati kita harus disadarkan pada fungsinya. Kita harus melatih dan mendidiknya secara terus-menerus. Salah satunya dengan dzikir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (QS Al-Ra’d: 28):
“Ingatlah, hanya dengan (berdzikir) mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Ketenteraman hati sangat dibutuhkan untuk menyadarkan hati pada fungsinya. Jika hati selalu marah, dengki, dan gelisah, kemampuan hati dalam menyadari fungsinya akan melemah. Tapi, setelah hati tenteram dan tenang, asupan-asupan kesadaran akan lebih mudah tertanam. Sebagaimana kegiatan belajar-mengajar yang membutuhkan suasana nyaman dan tenang, agar informasi pengetahuan yang disampaikan dapat tercerna dengan baik. Jika keadaan hati sang guru atau murid sedang marah, informasi pengetahuan yang diberikan akan tersia-siakan begitu saja.
Dalam tradisi para sufi, penjernihan hati (tashfiyatul qulûb) adalah pijakan utama, dan mereka memeperjuangkan itu sampai akhir hayatnya. Karena hati tidak statis. Dia selalu naik-turun, pasang-surut, dan tidak tetap. Sekali waktu dia begitu halus, di lain waktu dia begitu kasar. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kita sebuah doa penetap hati.
“Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” (Imam Ibnu Abi Syaibah, Kitâb al-Îmân, Beirut: al-Maktabah al-Islamiy, 1983, h. 28).
Sebagai penutup, penting bagi kita untuk merenungi jawaban seorang sufi saat ditanya, mana yang lebih baik, mengangkat tangan ketika berdoa atau membiarkannya. Sufi itu tidak menjawab dengan mengatakan, “ini” lebih baik dari “itu”, atau sebaliknya. Dia menjawabnya dengan cara berbeda.
“Ditanyakan pada seorang sufi: “Apakah mengangkat kedua tangan dalam doa itu lebih utama, atau membiarkannya (yang lebih utama)?” Sang sufi menjawab: “Mengangkat hati kepada Allah ta’ala lebih bermanfaat dari keduanya” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, juz 1, h. 198). Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha? Wallahu a’lam bish-shawwab...
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.