Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tsabit bin Qais Sahabat Rasulullah


Tsabit bin Qais (633W)
Tsabit bin Qais al-Anshari adalah seorang pemuka suku Khazraj yang terpandang. Ia juga salah seorang pemuka Kota Yastrib. Lebih dari itu ia adalah orang yang memiliki akal yang cerdas, berpikiran cerdas, pandai berbicara, dan bersuara lantang. Jika ia berbicara, ia mampu mengalahkan semua lawan bicaranya. Jika ia berkhotbah, ia mampu untuk menyihir para pendengarnya.

Ia adalah seorang penduduk Yastrib yang lebih dahulu masuk Islam. Karena begitu ia mendengar ayat-ayat Dzikrul Hakim (Alquran) yang dibacakan oleh seorang da’i muda dari Makkah yang bernama Mus’ab bin Umair dengan suara dan intonasinya yang tenang, bacaan tersebut membuat telinganya tertegun mendengarkan keindahan susunannya. Hatinya terpaut dengan kehebatan penjelasannya. Sanubarinya terenggut oleh semua petunjuk dan syariat yang ada di dalamnya.Maka Allah SWT melapangkan dada Tsabit untuk menerima iman, kemudian Dia meninggalkan posisi dan sebutan namanya dengan mengajak diri Tsabit untuk bergabung di bawah panji Nabi al-Islam.

Begitu Rasulullah SAW tiba di Madinah sebagai seorang muhajir, Tsabin bin Qais menyambut beliau bersama dengan rombongan besar penunggang kuda dari kaumnya dengan sebuah penyambutan yang mulia. Tsabit menyambut Rasulullah dan Abu Bakar dengan cara yang paling indah. Lalu Tsabit berkhotbah dengan begitu cakap di hadapan Rasulullah yang ia mulai dengan memuji Allah dengan shalawat serta salam kepada Nabi-Nya… kemudian ia menutup khotbahnya dengan berkata, “Kami berjanji kepadamu, ya Rasulullah, untuk melindungi dirimu sebagaimana kami melindungi diri kami, anak-anak kami dan istri-istri kami. Apa balasannya bagi kami?”

Rasulullah SAW langsung menjawab, “Balasannya adalah surga.”Begitu kata “surga” hinggap di telinga mereka, maka menjadi cerialah wajah mereka karena merasa bahagia, dan mereka berkata, “Kami rela, ya Rasulullah… kami rela, ya Rasulullah!”Sejak saat itu, Rasulullah SAW menjadikan Tsabit bin Qais menjadi khotib beliau, sebagaimana beliau juga menjadikan Hassan bin Tsabit sebagai penyair beliau.Maka jika Rasulullah kedatangan para utusan Bangsa Arab untuk mengajak Rasulullah bertanding dengan bahasa Arab yang fasih lewat para orator dan penyair mereka, beliau akan meminta Tsabit bin Qais untuk berhadapan dengan para orator tadi, sedangkan Hassan bin Tsabit untuk menghadapi para penyairnya.

Tsabit bin Qais adalah seorang yang memiliki iman yang mendalam, memiliki ketakwaan yang sesungguhnya. Ia amat takut kepada Tuhannya. Amat khawatir terhadap segala hal yang dapat mendatangkan murka Allah SWT.

Suatu hari Rasulullah pernah mendapatinya sedang ketakutan dengan dadanya yang gemetar. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Abu Muhammad (Panggilan Tsabit bin Qais)?” Ia menjawab, “Aku takut kalau aku binasa, ya Rasulullah.” Rasul bertanya, “Memangnya kenapa?” Ia menjawab, “Allah SWT telah melarang kita untuk suka dipuji atas apa yang belum kita perbuat. Dan aku mendapati diriku adalah orang yang suka dipuji. Ia juga melarang kita untuk sombong, dan aku mendapati diriku adalah orang yang terlalu percaya diri.”Rasulullah terus berusaha untuk menenangkan kesedihan Tsabit sehingga beliau berkata, “Ya Tsabit, apakah engkau tidak rela bila engkau akan hidup mulia, mati sebagai syahid dan masuk surga?”Maka berserilah wajah Tsabit dengan kabar gembira ini, ia langsung berkata, “Tentu aku rela, ya Rasulullah… tentu aku rela, ya Rasulullah!” Rasulullah SAW berkata, “Engkau akan mendapatkannya.”

Saat firman Allah SWT turun yang berkenaan dengan diri Tsabit dan berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggika suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” –(QS. al-Hujuraat: 2)-, Tsabit langsung menghindari majelis Rasulullah SAW –meskipun ia amat cinta kepada beliau-. Ia terus berada di rumahnya sehingga ia hampir tidak pernah meninggalkan rumah tersebut kecuali untuk menunaikan shalat berjamaah.

Rasulullah merasa kehilangan Tsabit, dan beliau berkata, “Siapa yang dapat membawa kabar tentang Tsabit kepadaku?”Salah seorang dari suku Anshar berkata, “Aku yang akan melakukannya, ya Rasulullah!”Maka orang tersebut mendatangi rumah Tsabit dan mendapati Tsabit sedang berada di dalam rumah sambil bersedih dan menundukkan kepalanya. Orang Anshar tersebut bertanya kepada Tsabit, “Apa kabar, wahai Abu Muhammad?”Tsabit menjawab, “Kabar buruk.”

Orang Anshar tadi bertanya, “Mengapa demikian?”Tsabit menjawab, “Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang bersuara keras. Seringkali suaraku melewati suara Rasulullah SAW, sedangkan Alquran telah menurunkan ayat tentang hal ini sebagaimana engkau ketahui. Aku menduga bahwa seluruh amalku telah terhapus dan aku termasuk ahli neraka.”Orang Anshar tersebut kembali menemui Rasulullah SAW dan menceritakan kepada beliau apa yang telah ia lihat dan ia dengar. Maka Rasulullah berkata, “Pergi dan temuilah, dan katakan kepadanya bahwa engkau bukanlah ahli neraka, akan tetapi engkau ahli surga.”Inilah kabar gembira terhebat yang pernah didengar oleh Tsabit yang senantiasa ia harapkan semasa hidupnya.

Tsabit bin Qais turut serta dalam peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW selain Perang Badar. Ia menyeburkan dirinya di medan perang demi mencari syahadah sebagaimana yang telah dijanjikan Rasulullah kepadanya. Akan tetapi ia selalu tidak menemukannya, padahal jaraknya dengan kematian sudah amat dekat.Hingga terjadilah peperangan melawan kemurtadan antara pasukan Muslimin dan Musailamah al-Kadzdzab pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq RA.

Pada perang tersebut, Tsabit bin Qais menjadi Amir pasukan suku Anshar, Salim budak Abu Hudzaifah menjadi amir pasukan suku Muhajirin, sedangkan yang menjadi panglima pasukan adalah Khalid bin Walid. Ia menjadi panglima pasukan atas semua golongan; baik Anshar, Muhajirin maupun orang-orang badui.Pada saat itu pasukan Musailamah mendapatkan keunggulan atas pasukan Muslimin, sehingga mereka mampu merebut kemah Khalid bin Walid dan berniat untuk membunuh istri Khalid yang bernama Ummu Tamim. Mereka berhasil memutuskan semua tali tenda kemudian merobek-robek tenda tersebut dengan cara yang amat bengis.

Pada saat Tsabit bin Qais melihat kelemahan barisan Muslimin yang membuat hatinya merasa sedih dan apatis. Ia mendengarkan cercaan yang mereka saling lemparkan sehingga hatinya bertambah gundah.Para orang-orang kota menuduh para orang-orang kampung sebagai penakut. Sedang orang-orang kampung mengatakan bahwa orang-orang kota tidak becus berperang.Pada saat itulah Tsabit bin Qais memakaikan minyak kematian pada tubuhnya dan ia mengenakan kain kafan. Ia berdiri dan dipandangi oleh orang di sekelilingnya sambil berkata, “Wahai seluruh Muslimin, bukan begini cara kita dulu berperang bersama Rasulullah SAW. Alangkah buruk tindakan kalian yang telah membuat musuh berani berhadapan dengan kalian. Alangkah buruk tindakan kalian yang takluk di hadapan para musuh.”

Kemudian ia mengangkat pandangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah, aku terlepas dari kemusyrikan yang mereka kerjakan (maksudnya adalah Musailamah dan kaumnya), dan aku juga terlepas dari apa yang diperbuat oleh mereka ini (maksudnya adalah kaum Muslimin).”Kemudian ia menyerang bagai seekor singa buas berjibaku dengan para pejuang sejati lainnya, di antaranya adalah: Al-Barra’ bin Malik al-Anshari, Zaid bin al-Khattab saudara Amirul Mukminin Umar bin Khattab, Salim budak Abu Hudzaifah, dan beberapa orang lainnya yang termasuk kaum Mukminin yang terdahulu.

Ia menyerang pasukan musuh dengan gagah berani yang menimbulkan semangat bagi pasukan Muslimin dan membuat gentar pasukan musyrikin. Ia terus menebaskan pedangnya ke setiap arah sehingga terjerembab karena luka yang ada. Ia pun tersungkur di medan laga dengan bola mata yang tenang, gembira dengan apa yang Allah tetapkan baginya sebagaimana orang yang mati syahid sebagaimana yang telah diberitakan oleh kekasihnya, yaitu Rasulullah SAW. Ia juga bangga dengan kemenangan yang Allah tetapkan bagi pasukan Muslimin.

Pada saat itu Tsabit membawa sebuah baju besi yang bagus. Salah seorang prajurit Musli menjumpai tubuh Tsabit lalu mengambil baju tersebut untuk ia kenakan.Pada keesokan harinya setelah Tsabit gugur, salah seorang prajurit bermimpi melihat Tsabit yang berkata kepadanya, “Aku adalah Tsabit bin Qais, apakah engkau mengenalku?” Prajurit tersebut menjawab, “Ya, aku mengenalmu.”

Tsabit berkata, “Aku akan memberimu wasiat. Jangan kau katakan bahwa ini adalah mimpi, karena itu akan membuatnya sia-sia. Kemarin saat aku telah terbunuh, ada seorang prajurit Muslim yang menemui tubuhku dengan sifat ini dan itu. Kemudian ia mengambil baju besiku dan membawanya ke arah kemahnya yang terletak di perkemahan terjauh di arah Fulan. Kemudian ia meletakkannya di bawah tungku miliknya. Dan ia meletakkan pelana di atas tungku tersebut. Temuilah Khalid bin Walid dan katakan kepadanya agar ia mengirimkan seorang utusan kepada orang yang mengambil baju besi tersebut, selagi masih ada di tempat itu.

Aku juga berwasiat hal lain kepadamu. Janganlah engkau katakan bahwa ini adalah sebuah mimpi bunga tidur, sebab itu akan membuatnya menjadi sia-sia. Katakanlah kepada Khalid, ‘Jika engkau menghadap Khalifah Rasulullah di Madinah, sampaikan kepadanya bahwa Tsabit bin Qais memiliki utang sejumlah ini dan itu… dan Fulan dan Fulan budak Tsabit akan dibebaskan, asalkan dapat membayarkan utangku maka kedua budak tersebut akan bebas merdeka.”Orang tesebut terbangun. Kemudian ia menghadap Khalid bin Walid dan menyampaikan apa yang telah ia dengar dan lihat.

Maka Khalid mengutus orang yang akan mengambil baju besi tersebut dari orang yang telah mengambilnya. Ternyata utusan tersebut mendapati baju besi tersebut tepat berada di tempat yang diceritakan, kemudian ia membawanya sebagaimana adanya.Begitu Khalid kembali ke Madinah, ia menceritakan kepada Abu Bakar tentang kisah Tsabit bin Qais dan wasiatnya. Abu Bakar pun memperkenankan semua wasiat Tsabit.Tidak ada orang sebelum dan sesudah Tsabit yang wasiatnya diperbolehkan setelah kematiannya. Semoga Allah SWT meridhai Tsabit bin Qais, dan menjadikannya termasuk orang yang berada pada surga tertinggi.

Sumber : Sirah 65 Sahabat Rasulullah–Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya
close