Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KISAH JIHAD YANG MENGHARUKAN NASIBAH رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا


Hari itu Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا tengah berada di dapur. Suaminya, Said رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا menebak, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.

Dengan bergegas, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya.

“Suamiku,” Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا berkata,

“aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.” Said رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak.
Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا menghampiri.
Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. “Suamiku, bawalah pedang ini.
Jangan pulang sebelum menang….” Said رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ memandang wajah istrinya.

Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang.
Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju utara.
Said رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk.
Di satu sudut yang lain, Rasulullah ﷺ melihatnya dan tersenyum kepadanya.
Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ saja.

Di rumah, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ yang baru berusia 15 tahun dan Saad رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup. “Ibu, salam dari Rasulullah ﷺ,” berkata si penunggang kuda,

“Suami Ibu, Said رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ baru saja gugur di medan perang.

Beliau رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ syahid…” Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا memanggil Amar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid.

Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi ﷺ. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?” Amar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ mengangguk. Hatinya berdebar-debar. “Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi ﷺ hingga kaum kafir terbasmi.”

Mata Amar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tak memberi kesempatan padaku untuk membela agama Allah ﷻ.”
Putra Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya.
Di depan Rasulullah ﷺ, ia memperkenalkan diri.
“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rasul ﷺ dengan terharu memeluk anak muda itu.
“Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung sampai sore.

Pagi-pagi seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan mereka menuju ke rumah Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا.
Setibanya di sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita,
“Ada kabar apakah gerangan kiranya?”
serunya gemetar ketika utusan belum lagi membuka suaranya, “Apakah anakku gugur?” Utusan itu menunduk sedih,
“Betul….” “Inna lillah….”
Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?” Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا menggeleng kecil. “ Tidak, aku gembira.

Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan? Saad رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ masih kanak-kanak.”

Mendegar itu, Saad رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”

Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?”

Saad رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya.
Ketika Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ hilang bersama utusan itu.

Di arena pertempuran, Saad رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”

Kembali Rasulullah ﷺ memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Mendengar berita kematian itu, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا meremang bulu kuduknya.

“Hai utusan,” ujarnya,

“Kau saksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya.
“Tapi engkau perempuan, ya Ibu….” Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا tersinggung,

“Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?” Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut.

Ia bergegas saja menghadap Rasulullah ﷺ dengan kuda yang ada. Tiba di sana, Rasulullah ﷺ mendengarkan semua perkataan Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Setelah itu, Rasulullah ﷺ pun berkata dengan senyum.

“Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”

Mendengar penjelasan Nabi ﷺ demikian, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.

Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya.

Ia menegok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir. Timbul kemarahan Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi ﷺ terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani.

Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya.

Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Peperangan terus saja berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا teronggok sendirian.
Tiba-tiba Ibnu Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?” Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah ﷺ ? 
Selamatkah Beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?
Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nasibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah ﷺ ?”
Terpaksa Ibnu Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ menyerahkan kuda dan senjatanya.

Dengan susah payah, Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya.

Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.

Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul ﷺ kemudian bersabda kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nasibah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا, wanita yang perkasa.”
Subhanallahwalhamdulillah walaailaahaillallah wallahuakbar,.
Walaa haula walaa quwwata illa billah Al aliyyi al 'adzim,.

Semoga bermanfaat

"SIRAH SAHABAT NABI SAW"
close