Mitos Tentang Auj bin Unuq
Beberapa mufassir mengatakan bahwa Auj bin Unuq (yang dipanggil dengan sebutan Ibnu Inaq) hidup sejak masa Nabi Nuh hingga masa Nabi Musa, dan ia adalah orang kafir yang sangat kejam, jahat, dan tidak berperikemanusiaan.
Mereka juga mengatakan bahwa Auj terlahir tanpa melalui pernikahan, ia dilahirkan ibunya Unuq binti Adam dari sebuah perzinaan. Dikatakan pula bahwa ia memiliki tinggi 3.333 hasta plus dua pertiga hasta, dan dengan tinggi badannya itu ia dapat mengambil ikan dari dasar laut lalu memanggangnya di dekat matahari.
Dikatakan pula bahwa ketika Nabi Nuh berada di dalam kapal, ia berkata kepada Nabi Nuh, “Mangkuk apa yang kamu buat ini?” Lalu ia mengolok-olok Nabi Nuh dengan kata-kata yang buruk. Dan riwayat-riwayat yang tidak karuan lainnya.
Menurut Ibnu Katsir, cerita tersebut adalah sebuah mitos, karena riwayat-riwayat terlalu lemah dan sangat diragukan keabsahannya.
Selain itu, riwayat tersebut bertentangan dengan dalil, baik secara akal ataupun naqli (Al-Qur an dan hadits).
Secara akal, apabila anak Nabi Nuh saja dibinasakan karena kekufurannya, padahal bapaknya adalah seorang Nabi yang diutus untuk umat zaman itu dan pemimpin orang-orang yang beriman, lalu bagaimana mungkin Auj bin Unuq tidak, padahal ia lebih zhalim dan lebih sesat seperti dikatakan dalam mitos tersebut.
Juga, apabila tidak ada seorang pun yang dikasihani, bahkan ibu yang membawa anaknya ke atas gunung dan juga anaknya, maka bagaimana mungkin orang jahat, pendosa, sangat kafir, berperilaku seperti setan macam Auj dibiarkan hidup?
Secara naqli, Allah juga telah berfirman, “Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman. Kemudian Kami tenggelamkan yang lain.” (As-Saffat: 80-82) Dan di antara doa Nabi Nuh yang dikabulkan juga disebutkan dalam Al-Qur'an, “Ya Tuhanku. janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Nuh: 26)
Kemudian, tinggi badan yang disebutkan pada mitos tersebut bertentangan dengan keterangan hadits Rasulullah yang disebutkan dalam Kitab Shahihain, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta. Kemudian semakin lama tinggi manusia semakin berkurang, hingga saat ini.” (HR. Bukhari)
Ini adalah dalil terpercaya, dapat diandalkan, dan terjaga, karena “Tidaklah yang diucapkanmya (Muhamnmad) itu memurut keinginannya. (Yang diucapkan itu) tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Tinggi badan manusia terus berkurang hingga saat ini, yakni dari sejak diciptakannya Nabi Adam hingga diucapkannya hadits di atas oleh Nabi tinggi badan manusia terus berkurang, dan terus berkurang hingga Hari Kiamat nanti. Ini menunjukkan bahwa tidak ada keturunan Nabi Adam yang memiliki tubuh lebih tinggi dari Nabi Adam.
Dengan demikian, bagaimana mungkin hal ini tidak dipikirkan dan diperhatikan sebelum menuliskan mitos dari Ahli Kitab yang penuh kebohongan itu, padahal mereka tahu bahwa Ahli Kitab telah mengganti-ganti isi Kitab suci mereka, telah memalsukan kalimatnya, telah menukar-nukar tempatnya, dan telah mengubah maknanya?
Jika Kitab suci saja mereka berani melakukan hal itu, lalu bagaimana dengan riwayat yang hanya berpindah dari mulut ke mulut saja, sedangkan mereka adalah kaum pendusta, tidak segan-segan berkhianat, dan telah dilaknat oleh Allah secara terus-menerus hingga Hari Kiamat?
Menurut Ibu Katsir, ia tidak yakin bahwa cerita tentang Auj bin Unuq itu benar adanya, cerita itu hanya dikarang oleh sejumlah orang zindik dan pelaku dosa, mereka adalah musuh-musuh para Nabi.
Sumber : Qashash Al-Anbiyaa’, Ibnu Katsir, hlm. 136-138 (Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Dudi Rosyadi, Lc.)
Semoga bermanfaat
Sampaikanlah ilmu ini kepada orang lain. Semoga mempermudah urusanmu di Dunia Akhirat dan Memberatkan timbangan Amal baikmu di Yaumul Mizan.
Riwayat dari Rasulullulah saw. mengatakan:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (H.R. Muslim no. 1893).
Kita menghindari kesia-siaan. Penting untuk menyampaikan kebaikan, namun tidak kalah pentingnya juga untuk memperhatikan cara yang baik dalam menyampaikan kebaikan. Kebaikan harus tersampaikan dengan baik, agar pesannya tidak hilang dalam hiruk-pikuk kehidupan.
Wallahu a’lam bis-shawab.