Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Yakuza dan Organisasi Di Baliknya


KompasNusantara - Di Jepang dan di tempat lain, istilah yakuza dapat digunakan untuk merujuk pada gangster atau penjahat individu serta kelompok terorganisir dan kejahatan terorganisir di Jepang pada umumnya.

Yakuza terlibat dalam pemerasan, penyelundupan, prostitusi, perdagangan narkoba, perjudian, lintah darat, dan mengendalikan banyak restoran, bar, perusahaan truk, agen pencari bakat, armada taksi, pabrik, dan bisnis lainnya.

Lantas apa itu sebenarnya yakuza? Simak terus uraiannya.

Apa itu Yakuza?

Yakuza, juga disebut bōryokudan atau gokudō, gangster Jepang, merupakan bagian dari apa yang secara resmi disebut bōryokudan (“kelompok kekerasan”) atau organisasi kriminal mirip mafia.

Secara umum, istilah yakuza digunakan untuk merujuk organisasi kriminal Jepang sekaligus anggota organisasi tersebut.

Sejarah yakuza dapat ditelusuri kembali ke abad ke-17, membuat organisasi ini menjadi kelompok kriminal tertua di dunia.

Banyak orang yang tertarik dengan budaya dan tradisi kelompok ini, yang sama menariknya dengan kelompok mafia Sisilia.

Di Jepang, yakuza memiliki pengaruh luar biasa pada berbagai aspek masyarakat Jepang serta memiliki wewenang luas dan bisa mempengaruhi segala sesuatu dari olahraga hingga bisnis.

Yakuza juga disebut sebagai gokudo atau “kelompok kekerasan”. Setiap anggota memiliki berbagai tugas sesuai dengan hirarkinya.

Tidak seperti gangster, yakuza juga cukup terbuka tentang apa yang mereka lakukan.

Banyak kantor atau unit bisnis yakuza terbuka untuk umum, lengkap dengan simbol-simbol kelompok beserta pakaiannya.

Sesuai dengan namanya sebagai “kelompok kekerasan,” banyak kegiatan yakuza melibatkan kekerasan.

Seperti mafia di seluruh dunia, kelompok ini terlibat dalam pemerasan, skema perlindungan, serta penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka.


Tradisi di yakuza bersifat kaku dan hirarkis, sama seperti budaya Jepang pada umumnya.

Hirarki yakuza amat rapi dan setiap anggota memahami posisinya masing-masing serta bagaimana harus berperilaku ketika berinteraksi dengan anggota lain.

Yakuza memiliki berbagai upacara dan ritual untuk mengikat dan menyatukan sesama anggota kelompok.

Salah satu ciri khas yakuza adalah tato terkenal yang disebut irezumi. Desain irezumi mengambil tema seni Jepang klasik sekaligus berbagai simbol organisasi.

Tato ini umumnya dilakukan dengan tangan tanpa menggunakan mesin tato sehingga membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum seseorang memiliki tato yang memenuhi seluruh tubuh.

Sebagai contoh, banyak tato seluruh tubuh yakuza yang dibuat dengan bambu tradisional atau jarum baja, alih-alih alat tato modern.

Area yang ditato bahkan mungkin termasuk alat kelamin, sebuah tradisi yang sangat menyakitkan.

Para anggota yakuza biasanya melepas baju mereka saat bermain kartu satu sama lain dan menampilkan seni tubuh mereka, yang mengacu pada tradisi bakuto, meskipun mereka umumnya mengenakan pakaian lengan panjang di depan umum.

Karena asosiasi dengan yakuza, tato memiliki konotasi negatif dalam masyarakat Jepang pada umumnya, dan orang-orang dengan tato terlihat dilarang di beberapa tempat.

Ciri lain dari budaya yakuza adalah tradisi yubitsume atau memotong sendi jari kelingking.

Yubitsume dilakukan sebagai permintaan maaf ketika seorang anggota yakuza menentang atau tidak menyenangkan bosnya.

Pihak yang bersalah memotong bagian atas jari kelingking kirinya dan menyerahkannya kepada bos.

Pelanggaran yang diulang akan menyebabkan hilangnya sendi jari lainnya.

Kebiasaan ini berasal dari zaman Tokugawa. Hilangnya sendi jari membuat cengkeraman pedang menjadi lebih lemah, hingga secara teoritis membuatnya lebih bergantung pada anggota kelompok lainnya untuk perlindungan.

Saat ini, banyak anggota yakuza memakai ujung jari palsu agar tidak terlihat mencolok.

Sejarah Awal Yakuza

Yakuza berasal dari era Keshogunan Tokugawa (1603 – 1868) yang terdiri dari dua kelompok orang-orang buangan yang berbeda.

Kelompok pertama adalah tekiya, pengembara yang melakukan perjalanan dari desa ke desa, menjual barang-barang berkualitas rendah di festival dan pasar.

Banyak tekiya termasuk dalam kelas sosial burakumin, sekelompok orang buangan atau “non-manusia”, yang statusnya bahkan berada di bawah empat jenjang struktur sosial feodal Jepang.

Pada awal tahun 1700-an, tekiya mulai mengorganisasi diri menjadi kelompok-kelompok yang kompak di bawah kepemimpinan para bos.

Diperkuat oleh buronan dari kelas sosial yang lebih tinggi, tekiya mulai melakukan kegiatan kejahatan terorganisir seperti perang atau tawuran antar wilayah dan kelompok preman berkedok penjaga keamanan.

Dalam tradisi yang berlanjut hingga saat ini, tekiya sering digunakan sebagai tenaga keamanan selama festival Shinto dengan imbalan uang perlindungan.

Antara tahun 1735 hingga 1749, pemerintah shogun berusaha meredakan perang geng antara berbagai kelompok tekiya dan mengurangi jumlah kejahatan yang mereka lakukan dengan menunjuk oyabun, atau bos yang diberi penugasan resmi.

Oyabun diizinkan untuk menggunakan nama keluarga dan membawa pedang, suatu kehormatan yang sebelumnya hanya diperbolehkan untuk samurai.

“Oyabun” secara harfiah berarti “orang tua angkat”, menandakan posisi bos sebagai kepala keluarga tekiya.

Kelompok kedua yang memunculkan yakuza adalah bakuto, atau penjudi.

Perjudian dilarang keras selama masa Tokugawa dan tetap ilegal di Jepang hingga saat ini.


Bakuto sering memakai tato warna-warni di seluruh tubuh mereka, yang mengarah pada kebiasaan tato seluruh tubuh pada yakuza modern.

Dari bisnis inti sebagai penjudi, bakuto secara alami bercabang menjadi rentenir dan kegiatan ilegal lainnya.

Bahkan saat ini, geng yakuza tertentu dapat mengidentifikasi diri mereka sebagai tekiya atau bakuto, tergantung pada bagaimana mereka menghasilkan sebagian besar uang mereka.

Mereka juga mempertahankan ritual yang digunakan oleh kelompok sebelumnya sebagai bagian dari upacara inisiasi.

Yakuza Modern

Sejak akhir Perang Dunia II, geng yakuza kembali populer setelah jeda selama masa perang.

Pemerintah Jepang memperkirakan pada tahun 2007 terdapat lebih dari 102.000 anggota yakuza yang bekerja di Jepang dan luar negeri, yang berasal dari 2.500 keluarga yang berbeda.

Meskipun diskriminasi terhadap burakumin secara resmi berakhir pada tahun 1861, lebih dari 150 tahun kemudian, banyak anggota geng adalah keturunan dari kelas yang terbuang itu.

Anggota lain yakuza berasal dari etnis Korea, yang juga menghadapi diskriminasi cukup besar dalam masyarakat Jepang.

Sindikat yakuza terbesar yang beroperasi saat ini adalah Yamaguchi-gumi yang berbasis di Kobe, yang mencakup sekitar setengah dari semua yakuza aktif di Jepang.

Selain itu, sindikat lain adalah Sumiyoshi-kai, yang berasal dari Osaka dan memiliki sekitar 20.000 anggota; serta Inagawa-kai, dari Tokyo dan Yokohama, dengan 15.000 anggota.

Geng yakuza terlibat dalam kegiatan kriminal seperti penyelundupan narkoba internasional, perdagangan manusia, dan penyelundupan senjata.

Namun, mereka juga memegang sejumlah besar saham di perusahaan besar yang sah, dan beberapa memiliki hubungan dekat dengan dunia bisnis Jepang, sektor perbankan, dan pasar real estate.

Yakuza dan Masyarakat Jepang

Menariknya, setelah gempa bumi dahsyat di Kobe pada 17 Januari 1995, sindikat yakuza Yamaguchi-gumi-lah yang pertama kali datang membantu para korban di kota asal geng tersebut.

Demikian pula, setelah gempa bumi dan tsunami 2011, berbagai kelompok yakuza mengirimkan truk-truk perbekalan ke daerah yang terkena bencana.

Manfaat lain dari yakuza adalah perannya dalam menekan tindak kejahatan kecil.

Kobe dan Osaka, dengan sindikat yakuza yang kuat, adalah salah satu kota teraman di Jepang (negara yang umumnya sudah aman) karena penjahat kecil tidak bisa beroperasi tanpa izin di wilayah yakuza.

Terlepas dari manfaat sosial dari yakuza, pemerintah Jepang telah menindak geng-geng tersebut dalam beberapa dekade terakhir.

Pada bulan Maret 1995, pemerintah Jepang mengesahkan undang-undang anti pemerasan baru yang disebut Undang-Undang Pencegahan Kegiatan Melanggar Hukum oleh Anggota Geng Kriminal.

Pada tahun 2008, Bursa Efek Osaka menghapus semua perusahaan terdaftar yang memiliki hubungan dengan yakuza.

Sejak tahun 2009, polisi di seluruh Jepang banyak menangkap bos yakuza dan menutup bisnis yang bekerja sama dengan geng tersebut.

Meskipun polisi telah melakukan upaya serius untuk menekan aktivitas yakuza di Jepang, tampaknya sindikat tersebut tidak akan hilang sama sekali.

Bagaimanapun, yakuza telah bertahan selama lebih dari 300 tahun, dan terjalin erat dengan banyak aspek masyarakat dan budaya Jepang.

Bahkan, Yakuza dipandang oleh sebagian orang Jepang sebagai “necessary evil” atau kejahatan yang diperlukan, mengingat fasad ksatria mereka, dan kemampuannya dalam mencegah kejahatan jalanan, serta peran mereka dalam aktivitas kemanusiaan.
close