Wafatnya Khalifah Umar bin Khattab
KompasNusantara - Beberapa hari sebelum kematiannya, Umar bin Khattab bertanya kembali kepada Hudzaifah bin Yaman tentang orang yang disebut Rasulullah SAW termasuk dalam golongan orang-orang munafik. Umar berkata, “Aku bersumpah kepadamu, apakah Rasulullah SAW memasukkan aku dalam nama-nama orang munafik?” Hudzaifah lalu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sudah aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah SAW tidak memasukkanmu ke dalam golongan orang-orang munafik.” Umar kemudian berkata, “Segala puji bagi Allah.”
Kemudian ia menatap Hudzaifah, “Beritahukan kepadaku tentang fitnah yang akan menenggelamkan umat!” Hudzaifah kemudian berujar, “Sesungguhnya antara dirimu dan fitnah tersebut terdapat pintu yang menutup selama engkau hidup.” Umar lantas berkata, “Wahai Hudzaifah, apakah pintu itu akan dibuka ataukah dirobohkan?” Hudzaifah menjawab, “Pintu itu akan dirobohkan!” Umar bin Khattab kemudian berkata lagi, “Jikalau begitu, ia tidak akan kembali ke tempatnya.” Hudzaifah menimpali, “Benar, wahai Amirul Mukminin.” Setelah itu Umar berdiri dan menangis. Lalu orang-orang bertanya kepada Hudzaifah tentang fitnah dan pintu itu. Hudzaifah menjawab, “Pintu itu adalah Umar. Jika Umar bin Khattab meninggal, maka pintu fitnah itu akan dibuka.”
Diantara sebagian sahabat, Mughirah bin Syu’bah memiliki seorang budak yang bernama Fairuz yang dijuluki dengan sebutan Abu Lu’lu’ah Al-Majusi. Pada suatu hari, Abu Lu’lu’ah mengadu kepada Amirul Mukminin bahwa uang yang dipatok Mughirah untuk pekerjaannya sangat besar, sedangkan ia tidak mampu membayarnya. Umar bin Khattab kemudian berkata, “Harga ini cukup, takutlah kepada Allah dan berbuat baiklah pada tuanmu.”
Abu Lu’lu’ah Al-Majusi kemudian pergi mengadukan Amirul Mukminin kepada orang-orang bahwa ia telah berbuat adil kepada seluruh manusia kecuali kepada dirinya. Dia berkata, “Umar telah memakan hatiku!” Dari sinilah, sebuah konspirasi berawal, yang dipelopori oleh empat orang. Abu Lu’luah adalah salah satu dari empat sumber konspirasi tersebut. Dua orang lainnya sebagai Majusi dan Yahudi.
Pada suatu hari tatkala Al-Faruq bersama sahabatnya, ia melihat Abu Lu’lu’ah. Lantas Umar berkata kepadanya, “Aku telah mendengar bahwa engkau mampu membuat penggilingan yang dapat digerakkan dengan angin.” Kemudian Abu Lu’lu’ah memandang Amirul Mukminin dan berkata, “Aku akan membuatkan untukmu penggilingan yang bisa berbicara dengan manusia.” Mendengar itu para sahabat merasa senang.
Umar bin Khattab kemudian berkata kepada mereka, “Apakah kalian merasa senang?” Mereka menjawab, “Ya!” Umar kemudian berkata, “Sesungguhnya ia mengancam hendak membunuhku.” Mendengar penjelasan Umar, para sahabat lalu berkata, “Kalau begitu kita bunuh saja ia!” Umar berkata, “Apakah kita hendak membunuh sesorang dengan prasangka? Demi Allah, aku tidak akan bertemu dengan Allah sedangkan di leherku terdapat darah lantaran prasangka.” Mereka berkata, “Jika begitu kita lenyapkan saja dia.” Umar berkata lagi, “Apakah aku akan berbuat zalim terhadap seseorang dan mengeluarkannya dari dunia lantaran prasangkaku bahwa dirinya akan membunuhku? Sekiranya Allah hendak mencabut nyawaku melalui kedua belah tangannya, niscaya urusan Allah itu merupakan takdir yang telah digariskan.”
Suatu hari, tatkala Umar bin Khattab sedang mengimami Shalat Subuh berjamaah di Masjid Nabi, terjadilah bencana besar itu. Allah SWT telah mengabulkan doa Umar, yaitu dengan mencabut nyawanya di kota Rasul sebagai syahid dengan keutamaan yang paling utama. Sebab dirinya tidak saja memperoleh kesyahidan di kota Rasul, akan tetapi ia berada di dalam masjid, mihrab, Raudah Nabi Muhammad SAW. Saat itu ia sedang mengerjakan Shalat Subuh dengan para sahabat.
Seorang Tabiin yang bernama Amru bin Maimun Al-Masyad menceritakan, “Ketika aku sedang berdiri di shaf kedua, sedangkan antara dirik dan Amirul Mukminin tidak ada seorangpun selain Abdullah bin Abbas. Ketika lampu di masjid tiba-tiba mati. Amirul Mukminin kemudian mengankat takbir memulai shalat. Sebelum ia membaca Al-Fatihah, seorang Majusi maju menghampirinya lalu menikamnya sebanyak enam kali tikaman.” Setelah itu, Umar berteriak, “Dia telah membunuhku.” Kemudian para sahabat menyerang Abu Lu’lu’ah dan ia pun menyerang jamaah membabi buta ke kanan dan ke kiri. Lalu, Abdurrahman bin Auf segera menelungkupkan mantelnya ke arah Abu Lu’lu’ah. Dengan begitu Abu Lu’lu’ah baru sadar bahwa dirinya telah tertangkap dan tidak bisa berkutik, sehingga ia menikam dirinya sendiri dan akhirnya ia pun mati.
Umar bin Khattab meminta Abdurrahman bin Auf untuk memimpin Shalat Subuh. Dengan darah yang semakin deras mengalir, Umar kemudian menanyakan Abdullah bin Umar. Maka datanglah Abdullah dan meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya. Lalu ayahnya berkata, “Wahai anakku, letakkan pipiku di atas tanah semoga Allah mengasihiku, jika aku telah mati pejamkanlah mataku dan sederhanakanlah kain kafanku. Sebab, jika aku menghadap Rabbku sedangkan Dia ridha terhadapku, maka Dia akan mengganti kain kafan ini dengan yang lebih baik, sedangkan jika Dia murka kepadaku, maka Dia akan melepasnya dengan keras.” Setelah itu ia pun jatuh pingsan.
Ketika Umar bin Khattab siuman Ibnu Abbas berkata, “Shalatlah!, wahai Amirul Mukminin.” Al-Faruq menoleh ke arahnya seraya berkata, “Aku hendak berwudhu untuk mengerjakan shalat.” Mereka kemudian membangunkan Umar untuk wudhu, sedangkan lukanya terus mengeluarkan darah.
Setelah Umar bin Khattab selesai shalat, Ibnu Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, orang yang mencoba membunuhmu adalah budak milik Mughirah bin Syu’bah, yaitu Abu Lu’lu’ah.” Umar bin Khattab kemudian berkata, “Segala puji bagi Allah, bahwa dia telah menjadikanku terbunuh di tangan seorang yang tidak pernah bersujud kepada Allah sama sekali. Semoga hal itu menjadi penuntut atasnya pada hari akhir kelak. Apakah ia telah bersepakat dengan salah seorang dari kaum muslimin?” Ibnu Abbas lantas keluar seraya bertanya kepada kaum muslimin, “Wahai kaum muslimin sekalian! Apakah ada seorang diantara kalian yang bersekongkol dengan Abu Lu’lu’ah?”
Mendengar hal itu, tangis kaum muslimin makin keras. Mereka berkata, “Demi Allah, sungguh kami ingin menambahkan umur kami kepada Umar bin Khattab.” Kaum wanita pun berkata, “Demi Allah, kematian anak-anak kami lebih kami sukai daripada matinya Umar bin Khattab.”
Abdullah bin Abbas kemudian masuk menemui Umar bin Khattab lalu mengusap dada Al-Faruq seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tenanglah. Engkau telah berhukum dengan kitab Allah dan engkau telah berlaku adil kepada sesama.” Mendengar hal itu Umar tersenyum lalu berkata, “Apakah engkau bersaksi untukku dengan hal ini pada hari kiamat kelak?” Ibnu Abbas kemudian menangis. Umar lalu menepuk bahunya seraya berkata lagi, “Apakah engkau akan bersumpah untukku pada hari kiamat kelak bahwa aku telah berhukum dengan kitab Allah dan berlaku adil?” Ibnu Abbas lalu menjawab, “Aku akan bersaksi untukmu wahai Amirul Mukminin.” Ketika itu Ali bin Abu Thalib menimpali, “Dan aku akan bersaksi pula untukmu, wahai Amirul Mukminin.”
Umar bin Khattab kemudian berkata, “Lalu bagaimana dengan hutang-hutangku? Akau takut bila menghadap Allah, sedangkan aku masih memiliki hutang.” Kemudian para sahabat menghitung semua hutang-hutangnya. setelah usai menghitung, terbilanglah bahwa hutangnya sebanyak delapan puluh enam ribu dirham.
Setelah itu, para sahabat mengumpulkan harta mereka untuk melunasi hutang-hutang Umar bin Khattab hingga ketika ia bertemu dengan Allah, ia tidak memiliki hutang. Sepekan setelah kematian Umar, terkumpullah harta tersebut lalu dibayarkan kepada Khalifah Utsman bin Affan, sehinga setelah itu Umar bin Khattab telah terbebas dari tanggungan hutang mana pun.
Pada detik-detik terakhir kematian Umar bin Khattab, ia meminta puteranya menghadap Ummul Mukminin Aisyah ra. untuk meminta izin agar setelah kematiannya nanti ia dikuburkan di dekat makam Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia berkata kepada puteranya, “Katakanlah kepada Aisyah ra., Umar meminta izin dan jangan engkau katakan Amirul Mukminin meminta izin. Sebab aku tidak patut sebagai pemimpin bagi kaum muslimin. Dan katakan kepadanya bahwa Umar tidak akan merasa tenang sehingga ia dikuburkan di dekat makam kedua sahabatnya dan ia meminta izin kepadamu. Jika ia mengizinkanku, maka segeralah datang kemari menemuiku!”
Ketika Abdullah bin Umar tiba di tempat Ummul Mukminin, ia mendapatinya tengah menangis. Aisyah sadar, kematian Umar itu sama halnya dengan terbukanya pintu-pintu fitnah. Ibnu Umar kemudian berkata kepadanya, “Dia meminta kepadamu agar ia dikuburkan di dekat makam kedua sahabatnya.” Mendengar hal itu Aisyah menjawab, “Sebenarnya aku ingin agar tempat itu untukku. Jika Umar menginginkannya, maka aku mengutamakan dirinya daripada diriku.”
Setelah itu, Abdullah bin Umar kembali menemui bapaknya untuk memberi kabar gembira. Umar bertanya kepadanya, “Apa yang ia katakan padamu wahai Ibnu Umar?” Abdullah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku beritahukan kabar gembira untukmu bahwa ia telah mengizinkanmu.” Mendengar hal itu Umar berkata, “Alhamdulillah.” Lalu ia kembali berkata, “Wahai Ibnu Umar! Jika aku telah mati bawalah aku dan baringkanlah aku di depan pintu Aisyah lalu katakanlah bahwa Umar meminta izin. Boleh jadi ia mengizinkanku ketika aku masih hidup karena merasa malu kepadaku.”
Sebelum Umar bin Khattab meningal, ia telah memilih enam orang diantara para sahabat yang akan menggantikannya menjadi khalifah. Mereka adalah, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abu Waqash dan Abdurrahman bin Auf. Ketika puteranya diusulkan menjadi salah satu dari dewan syura, ia berkata, “Cukuplah satu saja keluarga Umar bin Khattab yang akan ditanya tentang urusan manusia pada hari kiamat kelak.”
Umar bin Khattab meninggal pada hari Rabu, tangal 23 Dzulhijjah. Tepatnya, pada tahun 23 Hijriyah. Seluruh penduduk Madinah menangisi kepergiannya, dan ia dikuburkan di dekat makam kedua sahabatnya.