Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KISAH PERANG AIN JALUT - MUSLIM VS BANGSA TARTAR


KompasNusantara - Pada tahun 656 H/1258M, tentara Mongol dengan kekuatan sekitar 200.000 meruntuhkan Khalifah al-Mu’tashim Billah sebagai Khalifah terakhir dinasti Abbasiyah.

Tartar telah menghancurkan Baghdad, buku-buku di perpustakaan dibuang ke sungai Tigris, dan penduduk yang dibunuh sejumlah 800.000 orang.

Dari Baghdad, pasukan Mongol menyeberangi sungai Euphrat menuju Syria. Mereka sampai di Aleppo pada tanggal 25 Januari 1260 M. dan kembali melakukan pembantaian. Jumlah wanita dan anak-anak Aleppo yang terbunuh sebanyak 100.000 jiwa.

Dengan segera, penguasa Hims (Homs) yang terletak di tengah Suriyah, yaitu Musa al-Ayyubi menyatakan tunduk pada Hulagu.

Setelah itu pasuka Tartar memasuki Damaskus sehingga berhasil menguasai Ghaza.

Setelah jatuhnya Palestina, termasuk Ghaza, ambisi Hulagu berikutnya adalah menaklukkan Mesir. Hulagu mengirimkan utusan untuk menemuai penguasa Mamalik di Mesir, yaitu al-Mudhaffar Saifuddin Quthuz. Hulagu menyampaikan surat kepada Quthuz yang semuanya berisi tekanan dan ancaman.

Quthuz kemudian bermusyawarah dengan Dewan Musyawarah Militer. Mereka mempertimbangkan kekuasaan Tartar yang membentang mulai dari Cina sampai pintu Mesir dan ketidakkonsistenan Hulagu dalam perjanjian damai.

Mereka hanya dihadapkan pada tiga opsi; berperang, berdamai, atau evakuasi. Untuk melakukan evakuasi juga tidak mudah, karena tidak ada tempat lari bagi mereka kecuali Maroko yang berjarak sangat jauh.

Quthuz kemudian mengatakan, “Pendapatku adalah, kita semua harus berangkat berperang. Jika kita menang, itulah yang diharapkan, dan jika kalah, maka kita tidak akan dicela oleh siapa pun”.

Quthuz kemudian ingin menghilangkan segala keraguan untuk menghadapi Mongol dengan cara memerintahkan para pemimpin distrik di Mesir agar mengumpulkan pasukan, mendorong mereka melaksanakan jihad fi sabilillah dan menolong agama Rasulullah.

Selain pasukan Mesir, Quthuz juga berhasil mendapat dukungan dari pasukan Syam, Arab, Turkmen dan yang lain.

Pada kesempatan tersebut, Quthuz berkata kepada para Emir:

“Wahai para Emir! Telah lama kalian memakan harta Baitul Mal, sedangkan kalian tidak suka berperang. Aku akan pergi berperang. Siapa saja yang memilih berjihad, temannya adalah aku. Siapa saja yang tidak mau berjihad, hendaknya pulang ke rumah saja. Allah akan melihatnya. Dosa kehormatan kaum muslimin, berada di pundak orang-orang yang tidak turut berjihad.”

Keberanian Quthuz untuk menentang Hulagu dimulai dengan memenggal kepala para utusan Hulagu yang membawa surat ke Mesir. Kepala mereka kemudian digantung di depan pintu masuk Mesir.

Yang dilakukan Quthuz tersebut merupakan hasil ijtihadnya, dia menilai membunuh para utusan tersebut sepadan dengan perbuatan mereka, yaitu membantai para wanita, anak-anak, dan orang tua yang tidak terlibat dalam peperangan. Sebagaimana yang telah mereka lakukan di Smarkand, Bukhara, Baghdad, Aleppo, Damaskus dan negara-negara lain.

Ijtihad tersebut, sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengharamkan membunuh utusan, baik utusan musimin, utusan orang-orang kafir bahkan utusan orang-orang murtad.

Setelah selesai mengkonsolidasikan dukungan jihad, masalah yang harus segera diselesaikan adalah tentang pendanaan perang yang jumlahnya tidak sedikit. Quthuz pun mengumpulkan para Emir, Komandan Pasukan, Ulama dan Fuqaha, untuk bermusyawarah dengan dipimpin Sulthanul Ulama, Syekh Izzuddin Abdussalam.

Syekh Izzuddin Abdussalam kemudian berfatwa, “Ketika musuh telah mendatangi negeri Islam, wajib atas seluruh dunia Islam memerangi mereka. Diperbolehkan menarik uang dari rakyat melebihi beban zakat, demi untuk membantu memenuhi kebutuhan perang, dengan beberapa syarat: Pertama, di dalam Baitul Mal tidak ada lagi harta yang tersisa. Kedua, para Hakim, Emir dan Menteri harus menjual harta yang mereka miliki, mereka hanya boleh menggunakan kuda dan pedang yang sama seperti yang digunakan pasukan lain.”

Fatwa tersebut sungguh sangat berani, dan lebih hebatnya lagi Quthuz menerima fatwa tersebut. Dengan segera ia menjual harta kekayaannya, lalu memerintahkan bawahannya untuk menjual harta kekayaan mereka. Melihat antusiasme para pemimpin mereka, rakyat menjadi sangat senang, dan dengan segera mereka menyerahkan beberapa harta untuk keperluan perang.

Setelah mendapatkan kekuatan yang cukup, dalam sebuah kesempatan musyawarah bersama Majelis Militer, Quthuz menyampaikan beberapa pandangan dan strategi untuk mengalahkan Mongol. Quthuz mengatakan bahwa dia akan keluar menghadapi Mongol di Palestina, tidak menunggu kedatangan Mongol di Mesir, berdasarkan beberapa pertimbangan:

Pertama, Keamanan Mesir tergantung pada wilayah perbatasan sebelah Timur, bukan tergantung pada jantung Mesir.

Kedua, Ketika pasukan muslim kalah, mereka memiliki kesempatan kembali ke Mesir untuk merencanakan strategi baru, namun ketika mereka kalah di Mesir, maka berarti pintu masuk menuju Kairo telah terbuka.

Ketiga, kaum musimin mendapatkan keuntungan, mereka bisa memilih medan peperangan.

Keempat, Mesir adalah wilayah yang penting untuk saudara-saudara mereka yang berada di palestina, Suriah, Libanon, Irak, Afghanistan Azerbaijan dan Chechnya. Mesir merasa bertanggung jawab untuk melakukan jihad membela negara-negara Islam tersebut.

Kelima, kaum muslimin wajib masuk ke Tartar untuk menawarkan Islam kepada mereka, jika menolak maka mereka harus membayar jizyah atau diperangi. Masuknya Tartar ke dalam wilayah Islam dengan akidah mereka dan dengan peperangan mereka yang biadab merupakan fitnah bagi umat Islam.

Sementara itu, untuk sampai di Palestina, pasukan muslimin harus melalui Akka yang pada saat itu masih dikuasai tentara Salib. Oleh sebab itu, Quthuz mengambil langkah, untuk sementara waktu menawarkan perjanjian damai (mu’ahadah) dengan mereka, dan perjanjian damai akan berakhir jika perang dengan mongol telah usai.

Quthuz menawarkan jaminan keamanan pada Akka dan menjanjikan kuda-kuda Mongol akan dijual kepada mereka dengan harga yang murah. Penguasa Akka kemudian menerima perjanjian tersebut.

Pasukan muslim mulai berangkat menuju Palestina pada bulan Sya’ban 658 M/Juli 1260 M. Bulan Juli merupakan bulan yang paling panas selama setahun, mereka berjalan melintasi Gurun Sinai yang panjang dan selama perjalanan mereka tidak melalui daerah yang berpenghuni, kecuali Arisyh.

Selama perjalanan, Quthuz telah mengatur posisi pasukannya, sehingga sewaktu-waktu bertemu dengan Tartar mereka telah siap. Quthuz memerintahkan Ruknuddin Baybars bersama pasukannya agar berada di bagian depan, sementara Quthuz sendiri bersama pasukannya berada di bagian belakang. Dengan posisi tersebut, musuh yang melihat pasukan Baybars akan mengira sebagai kekuatan penuh dari Mesir, padahal di belakang mereka masih ada kekuatan lain.

Keberadaan pasukan Baybars berhasil diketahui oleh Mongol sehingga Katibgha sebagai Kepala Pasukan Mongol yang yang sedang berada di Lebanon ± 300 km. dari Ghaza mengirim pasukan untuk menghancurkan pasukan Baybars. Dalam pertempuran tersebut Baybars berhasil mendapat kemenangan.

Selanjutnya Quthuz menuju Ain Jalut, medan tempur yang telah dia pilih dengan beberapa pertimbangan. Sesampainya di sana, Qutus mulai mengatur posisi pasukannya, yaitu pada tanggal 24 Ramadhan 656 H.

Pada saat itu, datang utusan dari Sharimuddin Aybak yaitu seorang muslim yang ditawan oleh Tartar pada saat perang di Syam, dan dia dipaksa untuk membantu pasukan Tartar dan beberapa kali terlibat dalam peperangan mereka.

Utusan tersebut menyampaikan berita:

Pertama, pasukan Mongol tidak sekuat dulu ketika memasuki Syam, karena Hulagu telah menarik sebagian pasukan dan panglimanya ke Tibriz, Persia, karena kematian Khan Agung mereka.

Kedua, kekuatan pasukan kanan Tartar lebih kuat dari pada kiri, maka pasukan muslim harus menguatkan sisi kirinya untuk menghadapi pasukan kanan Tartar.

Ketiga, Asyraf al-Ayyubi, Emir Hims, akan masuk dalam barisan Tartar bersama Sharimuddin Aybak, akan tetapi mereka akan berperang untuk membantu kaum muslimin.

Malam harinya adalah malam tanggal 25 Ramadhan yang diharapkan turunnya lailatul Qadar, pasukan muslimin melaksanakan salat malam, mendekatkan diri kepada Allah, berdoa, dan berharap pertolongan-Nya. Demikian pula dengan Quthuz, semalaman dia berada di mihrabnya, berdoa kepada Allah agar menurunkan pertolongan pada para kekasih-Nya.

Setelah fajar, mereka shalat berjamaah dengan khusyu’, lalu mengatur barisan masing-masing. Tidak lama kemudian muncul pasukan Tartar dari kejauhan, dan pertempuran Ain Jalut pun terjadi, tepatnya pada hari Jumat 25 Ramadhan 658 H. dan pasukan muslim berhasil mengalahkan Tartar, yang sebelumnya belum pernah terkalahkan.

Referensi:
Qishshatu Tatar min al-Bidayah al Ain Jalut, Saifuddin Quthuz Bathalu Ma’rakati Ain Jalut, Sultan Saifuddin Quthuz wa Ma’rakatu Ain Jalut, Ain Jalut bi Qiyadati Al Malik Mudhaffar Quthuz.
close