Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Nabi Musa dan Shafura


KompasNusantara - Di suatu masa, di Negeri Madyan, dua wanita tengah menambatkan ternak mereka. Tak jauh dari keduanya, sebuah sumber air yang dikerumuni para penggembala. Dengan sabar, dua wanita itu menunggu sumber air sepi dari penggembala pria.

Shafura atau Shafuriyya adalah satu dari dua wanita itu. Sementara satu wanita yang bersamanya ialah sang kakak yang bernama Layya. Kisah keduanya diabadikan dalam Al-Qur’an karena ke’iffahan mereka sebagai wanita.

‘iffah yakni penjagaan diri. Baik Shafura dan Layya memiliki sifat ‘Iffah sehingga enggan berikhtilath atau bercampur baur dengan para pria.

Allah berfirman mengisahkan keduanya,

“Tatkala Musa sampai di sebuah sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekelompok orang yang sedang memberi minum ternak mereka. Dan dia mendapati di belakang mereka dua wanita yang sedang berusaha menghambat ternak mereka (supaya tidak maju ke mata air).” (QS. Al Qashash: 23).

Nabi Musa kala itu tengah dalam perjalanan hijrah dari Negeri Mesir. Beliau belum diutus menjadi nabi dan tengah pergi menyelamatkan diri. Saat beristirahat dalam perjalanannya yang tanpa bekal itu, Nabi Musa melihat dua wanita yang melarang ternak-ternak mereka untuk minum.

Nabi Musa pun mendatangi keduanya dan bertanya, “Apa maksud kalian berdua (dengan perbuatan tersebut)?”

Shafura dan Layya menjawab, “Kami tidak memberi minum ternak kami sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka, sementara ayah kami adalah orangtua yang sudah lanjut usia’.”

Nabi Musa pun kemudian menolong kedua wanita itu dengan mengambil ternak mereka dan membawanya ke sumber air. Dengannya, ternak-ternak itu pun bisa minum sepuasnya. Setelah itu, Nabi Musa mengarahkan ternak agar kembali digiring dua wanita, Shafura dan Layya. Tanpa bicara, Nabi Musa kemudian pergi dan mencari tempat teduh untuk beristirahat.

Shafura dan Layya begitu gembira karena dapat pulang ke rumah lebih cepat. Ternak-ternak mereka telah segar dan kembali ke kandang. Biasanya, mereka pulang sangat sore karena harus menunggu sumber air sepi dari penggembala pria.

Jika kakaknya, Layya, tak merasa momen itu spesial, Shafura justru sebaliknya. Si adik bungsu rupanya sangat tersentuh dengan bantuan Nabi Musa. Inilah jodoh yang telah dipersiapkan Allah untuk sang nabi.

Begitu tiba di rumah, Shafura sangat bersemangat menceritakan sosok pria yang membantunya. Ia segera menceritakannya pada sang ayah dan berharap ayahnya membalas budi pria asing yang menolongnya itu.

“Wahai Ayahanda, jadikanlah dia orang yang bekerja kepada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang bisa Ayah pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al Qashash: 26).

Ada yang menyebutkan bahwa ayah dua wanita adalah Nabi Syuaib. Namun Ibnu Katsir menjelaskan bahwa masa pengutusan Nabi Syu’aib dan Nabi Musa berjarak sangat lama dan tak mungkin bertemu. Riwayat lain menyebutkan, ayah si wanita adalah pria saleh dari negeri Madyan yang bernama Yatsrun atau Yatsra atau Tsabrun.

Mendengar penjelasan putrinya, Yatsra pun bertanya, “Apa yang kau ketahui tentangnya?”

Shafura pun menjawab, “Dia sendirian mengangkat batu yang baru bisa diangkat oleh sepuluh orang.”

Saat berada di sumber air tadi, Nabi Musa memang sempat mengangkat batu yang menutup mata air. Batu itu sangat besar hingga orang-orang tak sanggup mengangkatnya. Namun Nabi Musa dengan mudahnya memindahkan batu besar itu. Ternyata, saat itu Shafura melihatnya.

Ayahnya pun setuju untuk mempekerjakan Musa. Ia kemudian meminta Shafura untuk memanggil si pria penolong yang dimaksud putrinya. Shafura bergegas mencari pria yang tadi menolongnya dan membuatnya terpesona. Ketika di hadapan Nabi Musa, Shafura pun berjalan malu-malu dan menutup wajah dengan lengan jubahnya.

“Kemudian datanglah salah satu dari kedua wanita tadi kepada Musa, yang dia berjalan dengan malu-malu. Dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami’.” (QS. Al Qashash: 25).

Kisah Cinta Shafura dan Nabi Musa

Berjalanlah Shafura dan Musa ke rumah Yatsra. Jarak antara mata air dan rumahnya sekitar tiga mil. Jarak tersebut sangat cukup membuat wanita dan pria tefitnah satu sama lain jika jalan berdua.

Namun baik Shafura dan Nabi Musa adalah orang “pilihan”. Mereka memiliki keimanan dan kesalehan yang kuat. Shafura adalah wanita ‘iffah yang menjaga dirinya. Pun dengan Musa, calon utusan-Nya.

Shafura berjalan terlebih dahulu agar Musa berjalan jauh di belakangnya. Namun kemudian Nabi Musa takut terfitnah jika melihat wanita di hadapannya. Sang nabi lantas berkata,

“Berjalanlah di belakangku. Kalau aku menjauh dari jalan yang seharusnya, lemparkanlah kerikil kepadaku agar aku mengetahui jalan yang benar dan bisa mengambil arah dengannya.”

Riwayat lain menyebutkan, Nabi Musa berkata kepada Shafura, “Berjalanlah di belakangku. Aku ini laki-laki Ibrani, tidak boleh menatap bagian belakang perempuan. Tunjukkan kepadaku jalan, ke kanan atau ke kiri.”

Demikianlah keduanya berjalan tanpa berduaan dan jauh dari fitnah, hingga tiba di tempat tujuan. Di sana, sang ayah, Yatsra sudah siap menyambut pria yang dielu-elukan putrinya. Sambutan hangat diterima Nabi Musa meski statusnya sebagai pria asing yang tak diketahui asal muasalnya.

Nabi Musa pun kemudian mengenalkan diri dan mengisahkan ringkas apa yang ia alami. Nabiyullah menceritakan kisahnya di Mesir dan alasannya berhijrah hingga singgah di Negeri Madyan. Betapa bahagianya Nabi Musa ketika Yatsra berkata, “Janganlah engkau takut, karena engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.”

Makanan lezat pun kemudian dihidangkan kepada Musa. Namun Nabi Musa menolaknya karena ia tak mengharapkan imbalan apapun dari bantuannya memberi minum ternak.

Padahal saat itu, Nabi Musa amat sangat lapar. Beliau pergi dari Mesir tanpa bekal apapun. Selama perjalanan jalan kaki hingga Madyan (wilayah di antara Yordania dan Palestina), sang nabi hanya makan sayur dan dedaunan. Kelelahannya jelas nampak dari penampilan sang nabi Bani Israil tersebut.

Yatsra pun makin kagum dengan sosok pemuda di hadapannya. Ia pun berkata kepada Musa bahwa hidangan tersebut bukanlah upah, melainkan jamuan untuk memuliakan tamu. Nabi Musa pun akhirnya bersedia menyantap jamuan yang dihidangkan.

Pernikahan Shafura dan Nabi Musa

Setelah bercakap-cakap, ayah Shafura pun kemudian berkata kepada Nabi Musa,

“Sesungguhnya aku ingin menikahkanmu dengan salah satu dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bersedia bekerja kepadaku selama delapan tahun. Apabila engkau menyempurnakan menjadi sepuluh tahun, itu adalah kebaikan darimu. Aku tidak ingin memberatimu. Dan engkau, insya Allah, akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al Qashash: 27)

Masya Allah, kisah Shafura dan Nabi Musa begitu indah. Nabi Musa menerima tawaran itu dan menikahi Shafura. Selama 10 tahun, Nabi Musa pun tinggal di Negeri Madyan. Keduanya hidup bahagia dan dikaruniai keturunan.

Kelak, ketika masa nubuwah hampir tiba, Musa membawa serta keluarga barunya, yakni istri tercintanya, Shafura, dan anak-anaknya, ke kampung halaman Musa di negeri kinanah. Di tengah perjalanan nanti, ketika Nabi Musa hendak mencari api untuk Shafura dan anak-anaknya, Nabi Musa mendapatkan wahyu pertama kali.

Masya Allah, sungguh kisah Shafura sang wanita Iffah begitu indah. Wanita baik selalu mendapat jodoh yang baik. Kesalehan Shafura membawanya kepada jodoh terbaiknya, yakni Nabi Musa ‘Alaihissalam.
close