Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Naga Melawan Harimau: Persaingan Samurai Legendaris Kekaisaran Jepang


Takeda Shingen dan Uesugi Kenshin adalah dua samurai legendaris, panglima perang, dan daimyo yang bersaing secara intens.

Di masa lalu, daimyo terus-menerus bersaing untuk menguasai Kekaisaran Jepang.
 Istilah daimyo digunakan untuk samurai yang memiliki hak atas wilayah yang luas (tuan tanah dan banyak pengikut.

Takeda Shingen dan Uesugi Kenshin adalah dua samurai legendaris, panglima perang, dan daimyo yang bersaing secara intens. Keduanya mendapat julukan harimau dan naga.

Uesugi Kenshin: Klan Nagao Terpecah

Uesugi Kenshin, yang memiliki nama asli Nagao Kagetora, tidak lahir dari Klan Uesugi tetapi dari Klan Nagao. Di masa Jepang feodal, bangsawan bisa diadopsi ke dalam sebuah keluarga, seolah-olah ia lahir di keluarga itu.

Kenshin adalah putra ketiga dari Nagao Tamekage, seorang samurai klan yang terkenal. Dia tidak pantas menjadi pewaris Nagao dan karena itu dipandang sebagai orang asing. Pada saat itu, Tamekage juga sedang menghadapi ancaman yang meningkat dari Ikko-ikki. Ikko-ikki adalah sebuah sekte agama petani dan biksu yang berusaha melemahkan kekuasaan samurai.

Pada bulan Desember 1536, Tamekage kehilangan nyawanya dalam pertempuran kecil. Ia meninggalkan klan di tangan putra sulungnya Nagao Harukage. Sayangnya Harukage bukanlah penguasa yang paling cakap. “Dia lemah dan terus-menerus sakit, tidak mampu menjaga bawahannya,” tulis Michael Smathers di laman The Collector.

Sementara itu, Kenshin telah menghabiskan 7 tahun di Rinsen-ji, sebuah biara Buddha di Provinsi Echigo. Uesugi Kenshin mengikuti pendidikan Buddhisnya dengan penuh semangat. Dia tampak sangat tertarik pada Bishamonten, salah satu dari Empat Penguasa Langit dan dewa perang.

Bangkitnya sang naga di Kekaisaran Jepang

Pada usia 14 tahun, beberapa daimyo di daerah tersebut mengunjungi Kenshin di kuil. Mereka memohon padanya untuk mengangkat senjata dan mengambil alih klan dari saudaranya. Awalnya dia tidak ingin melakukan ini karena rasa sayang keluarga. Namun demi kebaikan provinsi, ia pun akhirnya mengalah dan setuju.

Bersama Usami Sadamitsu, panglima perang yang memintanya untuk keluar dari pengasingan, dia melawan. Kenshin berhasil mengalahkan Harukage pada tahun 1547. Selama 6 tahun berikutnya ia pun mengonsolidasikan kekuatannya.

Selain pembangunan militer, Uesugi Kenshin berfokus pada pengayaan industri dan perdagangan di provinsinya, khususnya perdagangan kain. Uang itu digunakan untuk menciptakan militer yang kuat.

Kelak Samurai Kenshin disebut sebagai Naga dari Echigo.

Takeda Shingen, pewaris klan yang memiliki masa depan cerah

Takeda Shingen adalah anak sulung dari Takeda Nobutora dan akan mengambil alih klan di Provinsi Kai. Di Kekaisaran Jepang, sang samurai legendaris ini dijuluki sebagai Harimau dari Kai.

Dia melibatkan dirinya dalam politik klan dan urusan militer. Pada tahun 1536, dia bergabung dalam kampanye melawan Genshin Hiraga dari Shinano, yang mundur ke kastelnya dan mencoba menunggu musim dingin.

Shingen, seperti Kenshin, menaruh minat pada budaya Tiongkok kuno dan mitologi Buddha. Dia juga tampak sangat tertarik dengan ajaran Sun Tzu. Pada panji-panji perangnya, Shingen mencantumkan semboyan Furinkazan (angin, hutan, api, gunung). Maksudnya adalah cepat seperti angin, senyap hutan, ganas seperti api, tak tergoyahkan seperti gunung.

Klan Takeda juga terkenal dengan keterampilan dan keganasan kavaleri mereka.

Pemberontakan dan ekspansi Shingen dan Kenshin di Kekaisaran Jepang

Takeda Nobutora berencana menggulingkan Shingen sebagai ahli warisnya demi putra keduanya, Nobushige. Sebagai anak sulung dan pewaris sah, Shingen pun marah. Shingen akhirnya menggulingkan ayahnya dan mengasingkannya ke Suruga.

Setelah itu, Takeda Shingen mengalihkan perhatiannya untuk menaklukkan sisa Shinano, yang merupakan provinsi yang jauh lebih besar. Panjang utara-selatannya hampir membentang dari pantai ke pantai.

Di masa lalu, daimyo terus-menerus bersaing untuk menguasai Kekaisaran Jepang. Persaingan yang terkenal adalah persaingan antara Takeda Shingen dan Uesugi Kenshin.

Dua panglima perang di Shinano utara melakukan perjalanan ke timur laut ke Echigo. Mereka mengajukan petisi kepada Uesugi Kenshin (yang menguasai Klan Uesugi) untuk membantu melawan pasukan Takeda.

Dipengaruhi oleh ekspansi agresif tetangganya di selatan, Kenshin setuju untuk membantu. Ia pun mengumpulkan kekuatan untuk berbaris melawan Takeda.

Kedua pasukan bertemu di dataran Kawanakajima pada tahun 1553. Namun rupanya itu merupakan pertempuran kecil. Tidak ada panglima perang yang memperoleh wilayah yang signifikan atau melakukan penyerangan.

Hal yang sama terjadi dua kali lagi dalam empat tahun. Namun yang keempat, Pertempuran Kawanakajima, dicatat dalam sejarah dan menjadi legenda.

Pertempuran Kawanakajima yang legendaris di Kekaisaran Jepang

Selama Oktober 1561, Uesugi Kenshin mengetahui bahwa Takeda Shingen sekali lagi mencoba untuk pindah ke Echigo. Shingen menghentikan serangannya terhadap Hojo Ujiyasu, daimyo lain yang sedang berjuang dengannya.

Mereka telah bertarung sebanyak tiga kali. Pertempuran ini sebagian besar bermuara pada pasukan yang bergerak ke posisi dan pertempuran kecil. Pertemuan keempat mereka adalah satu-satunya pertarungan penuh.

Uesugi mendirikan kemah di atas Saijoyama, sebuah gunung di barat daya Kastel Kaizu. Di sana Takeda menempatkan kontingen kecil di garnisun. Pasukan utamanya, 20.000 orang, terbagi menjadi dua.

Sekitar 8.000 orang bercokol di utara Chikumagawa, dekat tepi sungai. Sisanya, berniat untuk mengejutkan Uesugi Kenshin, perlahan naik ke Saijoyama dari timur.

Kenshin pun menyadari jika ia harus berjaga-jaga. Di sisi lain, ia juga memahami soal kondisi pasukan Uesugi.

Naga dari Echigo melawan Harimau Kai

Pasukan Kenshin, di tengah malam, maju menuruni lereng gunung dan menyeberangi sungai. Menjelang fajar, mereka siap untuk menyerang detasemen Takeda Shingen, yang dikerahkan dalam formasi terentang yang disebut Sayap Bangau.

Rencananya adalah pertempuran jarak dekat dan kavaleri akan bertemu dengan pasukan utama. Sementara sayap kiri dan kanan akan menyelimuti mereka setelah mereka lelah bertempur.

Tapi ini tidak terjadi. Uesugi Kenshin menggunakan strategi yang dikembangkan secara pribadi yang disebut Rolling Wheel. Prajurit akan bergerak untuk bertarung, menimbulkan korban sebanyak mungkin, lalu berbelok untuk digantikan oleh unit baru.

Dari sudut pandang musuh, formasi ini akan terlihat seperti gelombang pasukan yang tak ada habisnya. “Tentu saja, formasi itu menciptakan efek demoralisasi pada pasukan lawan,” tambah Smathers.

Takeda tetap di kampnya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia takut. Takeda kemungkinan besar terus mendorong tentaranya untuk bertahan selama mungkin.

Kenshin menerima informasi bahwa Shingen sedang menunggu di kamp. Ia pun mendobrak tenda jenderal dengan menunggang kuda, menghunus pedangnya, dan menyerang.

Takeda tidak punya waktu untuk mempersenjatai diri atau bahkan bergerak dari posisi duduk.

Dia menggunakan tessen (kipas perang) untuk memblokir pedang dan bertahan cukup lama. Lalu para pengikutnya tiba dan menombak kuda Kenshin. Pemimpin Uesugi terpaksa melarikan diri dan pertempuran segera berakhir tanpa pemenang sejati.

Jumlah korban untuk kedua belah pihak bervariasi. Beberapa perkiraan menempatkan mereka pada 60 persen, yang lain mendekati 70.

Untuk pertempuran abad pertengahan, pertempuran ini sangat menghancurkan. Takeda kehilangan putranya dan jenderal topnya.

Uesugi Kenshin dan Takeda Shingen mengakhiri persaingan

Uesugi Kenshin dan Takeda Shingen melihat satu sama lain sebagai pejuang dan ahli strategi yang sama terampilnya. Sebagai samurai Kekaisaran Jepang, keduanya menghormati kebajikan bushido.

Satu cerita berlanjut bahwa Uesugi mendengar bahwa persediaan garam Takeda ditahan oleh klan Hojo. Ia pun mengirimkan sejumlah garam dengan pesan, “Saya tidak bertarung dengan garam, tetapi dengan pedang.” Hal ini terjadi setelah pertempuran legendaris mereka.

Jika bukan karena munculnya Oda Nobunaga, Tiga Kanto (Uesugi, Takeda, dan Hojo) mungkin akan melanjutkan perjuangan.

Baik Kenshin dan Shingen melakukan pukulan telak melawan panglima perang baru yang muncul itu. Kenshin di Tedorigawa pada tahun 1577 dan Shingen di Mikatagahara pada tahun 1573.

Pertempuran tersebut menjadi pertempuran besar terakhir Shingen. Pada musim semi tahun 1573, dia meninggal setelah pengepungan.

Uesugi Kenshin secara terbuka berduka atas kematian saingan lamanya. Putra Shingen, Katsuyori, mengambil alih kepemimpinan. Sayangnya, ia menyebabkan kehancuran Klan Takeda melalui ekspansi militer yang terlalu agresif.

Uesugi Kenshin sendiri meninggal pada tahun 1578. Beberapa menduga pembunuhan oleh seorang shinobi (ninja), sementara yang lain percaya itu adalah penyakit.

Kematiannya terjadi setelah dia membentuk aliansi dengan Takeda Katsuyori. Mereka bermaksud untuk menyerang Oda Nobunaga di musim dingin tetapi kematian Uesugi Kenshin sebagian besar mengakhiri perluasan klan.

Putra Kenshin, Kagekatsu, kemudian ditunjuk oleh Toyotomi Hideyoshi sebagai salah satu dari Lima Bupati. Namun klan Uesugi atau Takeda tidak akan pernah lagi memiliki kekuatan nyata di Kekaisaran Jepang.
close