Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENGAPA SUKA NAIK GUNUNG ? - Inspirasi Bagi Pendaki Gunung


Mengapa suka naik gunung ?”. Kawan- kawan mungkin pernah atau sering kali ditanya oleh teman, tetangga, atau orang tua, “Mengapa suka naik gunung ??? “. Jika jawabannya “iya”, berarti kita senasib…. Seringkali jika ditanya dengan pertanyaan seperti itu, Saya kadang juga bingung mau kasih jawaban apa yang cocok untuk diutarakan yah ???

Sudah menjadi kebiasaan bagi Saya untuk berbicara dengan orang lain menggunakan bahasa yang “sesuai” dengan konteks umurnya, seperti yang biasa digunakan oleh orang jawa dalam berbicara menggunakan Bahasa Jawa. Ada bahasa kasar, ada yang halus. Menyesuaikan dengan konteks umur orang yang diajak bercakap- cakap, walaupun sepanjang hidup saya dilahirkan dan besar di Sumatera yang kebanyakan menggunakan bahasa padang, melayu atau batak. Kadangkala juga harus menyesuaikan kepada background edukasi mereka. Jika ngobrol dengan anak esde, Saya akan gunakan bahasa yang dapat dengan mudah difahami oleh mereka. Berbeda dengan berkomunikasi dengan mahasiswa, orang kantoran dan yang pendidikannya lebih tinggi, paling kurang mereka mengerti akan vokalisasi, definisi dan sinonimisasi serta sasi- sasi yang lainnya.

Seperti misalnya jika yang bertanya adalah anak kecil, untuk pertanyaan di atas, “Mengapa suka naik gunung ?”. Kira- kira Saya akan menjawab “Kita dapat menikmati pemandangan yang indah di sana dek, bla, bla, bla…. “. Dengan harapan si adek mau mengikuti hobby Saya, menjadi seorang Pendaki. Saya akan menceritakan tentang hal- hal yang menyenangkan dalam perjalanan Saya, teman- teman seperjalanan yang luar biasa, indahnya sunrise dan sunset di atas 3.000 mdpl, lembutnya daun edelweiss, gemerisik cantigi yang ditiup angin, dan seribu alasan keindahan dan kesenangan lainnya. Tidak mungkin Saya akan menceritakan kegetiran selama di perjalanan kepadanya. Ntar dia langsung kabur, dan hilanglah satu jiwa yang suatu hari nanti mungkin saja dapat dididik menjadi volunteer/ relawan konservasi.

Jika yang bertanya adalah teman sebaya, “Mengapa suka naik gunung ?”. Jawaban Saya biasanya yang lebih “diplomatis”, seperti “Ikutlah denganku ke Gunung, maka kau akan tahu kenapa Aku suka naik gunung”. Kadang- kadang jawaban ini berhasil “meracuni” sang kawan, dan,,,, tentu saja dia ketagihan. Tambah satu lagi pendaki di negeri ini. Jika temen cewek yang melontarkan pertanyaan ”Mengapa suka naik gunung ?”, jawaban Saya biasanya “Aku mau latihan dulu mendaki gunung, setelah itu Aku akan mendaki hatimu”…. Hallaaahhhh…. Modus.

Nah, jika orang yang lebih tua umurnya dari Saya menanyakan hal yang sama, “Mengapa suka naik gunung ?”. Jawaban yang paling aman yang sering saya berikan adalah jawaban yang sedikit patriotis, meminjam kata- kata Hoek Gie, “Itu karena Saya mencintai negeri ini. Bagaimana Saya dapat mencintai negeri ini jikalau Saya tidak mengenal apa saja yang ada di negeri ini”. Untuk mencintai sesuatu, kita harus mengenalnya lebih dekat…. Aseeeekkkk.

Dari semua jawaban yang pernah Saya berikan, saya berfikir,,, Saya butuh satu jawaban yang mampu menjawab 3 pertanyaan yang sama, dari 3 strata umur yang berbeda. Suatu jawaban yang dapat terus disebutkan untuk siapapun yang bertanya. Akhirnya, dari beberapa cerita yang digabungkan menjadi satu, menjadi landasan jawaban Saya, jika Saya ditanya “Mengapa suka naik gunung ?”.

Nabi Adam AS dan Hawa saat diturunkan di Bumi, diturunkan pada tempat yang terpisah. Mereka saling mencari satu sama lainnya. Tak jarang mereka mendaki gunung yang tinggi dengan harapan dari puncak gunung itu dapat melihat ke sekelilingnya, untuk menemukan belahan jiwanya. Adam AS mendaki karena CINTA… Pada belahan jiwanya.

Menurut riwayat, akhirnya mereka bertemu saat sama- sama mendaki ke puncak Gunung Rahmah (Jabal Rahmah) di kota Mekkah.
Siti Hajar, ibundanya Nabi Ismail AS, juga seorang pendaki. Ketika dia dan anaknya ditinggalkan oleh bapak para nabi, Ibrahim AS, Siti Hajar berlari kecil mendaki ke Gunung Safa untuk mencari air bagi bayi mungil buah hatinya yang kehausan, Ismail AS. Tidak menemukan air di gunung Safa, beliau berlari kecil kembali ke Gunung Marwa guna mencari air. Begitu seterusnya sampai 7 x pulang balik. Saat terakhir kali beliau melewati Ismail AS, ternyata ada mata air yang memancar dari tanah di kaki Ismail AS. Itulah zam- zam, mata air yang tak pernah kering dan menyembuhkan. Dan karena air itu, lembah yang dulunya kering menjadi sebuah kota, Bakka (Mekkah saat ini). Siti /hajar mendaki karena CINTA… Pada buah hatinya.

Yesus (Isa AS) mendaki ke Gunung Golgota (tengkorak) sambil membawa salib di pundaknya. Dan menurut umat Nasrani itu memang harus dilakukan untuk memenuhi takdirnya. Yesus (Isa AS) mendaki kerena CINTA… Pada pengikutnya.

Rasulullah Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi rasul juga suka, malah sering naik gunung. Gunung Cahaya (Jabal Nur) yang ada di pinggir kota Mekkah, untuk menyendiri di Goa Hira. Untuk lepas dari hiruk pikuk dunia, mencari ketenangan guna menemukan esensi keilahian yang murni. Sampai suatu malam, Ruh yang mulia, yakni Jibril, muncul di hadapannya dan memerintahkan Muhammad SAW untuk membaca, “Iqra’… (bacalah…)”. Muhammad SAW mendaki karena CINTA… Pada Tuhannya.

Nah itu dia… CINTA adalah jawaban yang universal buat Saya. Jika ada yang bertanya Mengapa kamu suka naik gunung ?”, jawabannya , “AKU MENDAKI KARENA AKU CINTA…”.

Aku cinta dengan negeri ini, sehingga Aku harus mendaki untuk mengenalnya. Aku cinta dengan teman- temanku, sehingga Aku harus mendaki, untuk minum kopi bersama mereka. Aku cinta pada Nabi ku, sehingga Aku harus mendaki karena mengikuti jejaknya. Aku cinta kepadamu kekasih hatiku, sehingga Aku harus mendaki untuk menggoreskan namamu di atas pasir gunung. Yaaa,,, AKU MENDAKI KARENA AKU CINTA.


Habiskan nasi gorengnya sampai pada butir terakhir kawan. Untuk mendapatkan satu butir nasi, petani kita menunggu sampai satu musim untuk memanennya.

Semoga jiwa kita tercerahkan.
close