Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENDAKIAN MISTIS DIMENSI LAIN DI GUNUNG MALABAR (Berdasarkan Kisah Nyata)


Tepatnya pada hari Kamis 20 Juni 2019 tahun yang lalu, Saya Pokis mendaki Gunung Malabar yang terletak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saya berangkat bersama Lima teman saya yang bernama Agan, Adul, Irgi, Kipot, dan Amad.

Gunung ini memiliki ketinggian 2343 Mdpl.

Kami berenam berangkat pukul setengah 6 sore menuju ke kampung terakhir sebelum jalur pendakian, Kampung tersebut bernama Cidulang.


Sebelum sampai diperhentian terakhir tempat Kami menitipkan kendaraan, kami sholat Maghrib di Masjid yang berada di perkampungan tersebut.

Setelah selesai sholat kami membeli sedikit logistik tambahan di sebuah warung yang terletak di dekat Masjid tempat kami melaksanakan sholat Maghrib sambil mempacking ulang barang, ketika Kami sedang mempacking ulang barang, seorang Bapak Tua yang keluar dari Masjid tiba-tiba bertanya,

“Bade kamarana Jang?” (Mau kemana Dek?) Sambil berjalan menghampiri Kami.

Kami pun spontan menjawab sambil serentak menoleh ke arah Bapak tersebut.

“Ke Gunung Malabar Pak”

Dia pun melanjutkan pembicaraan dengan bertanya

“Meni waranian ka Malabar wayah kieu” (Berani sekali ke Malabar-malam begini)

Lalu teman Saya Adul menjawab dengan lantang,

"Ah da pamuda Pak" (Ah kan Anak Muda Pak) sambil sedikit tertawa,

Lalu bapak itu pun bilang,

“Nya sing ati-ati we Jang Malabar mah sanget keneh” (Yang penting hati-hati ya Dek, Malabar masih angker)

Saya pun menjawab sambil sedikit tersenyum,

“Muhun Pa Hatur Nuhun” (Iya Pak, Terimakasih)

Setelah selesai melakukan packing ulang kami pun bergegas menuju ke tempat penyimpanan kendaraan yang terletak tidak terlalu jauh dari masjid tersebut. Setelah sampai diujung pemukiman warga dan kami sedikit berbincang dengan pemilik rumah tempat kami menitipkan kendaraan yang sekaligus dia adalah Ketua RT di area pemukiman tersebut.


Sekitar pukul setengah 7 malam, Kami mulai menyalakan 2 buah headlamp dan 1 buah senter, dimana hanya itu alat penerangan yang kami bawa, lalu Kami berdoa bersama dengan harapan ‘dapat pergi dalam keadaan sehat dan bisa pulang ke rumah dengan selamat’.

Untuk kemudian ketika selesai berdoa, Kami memulai langkah pendakian menuju area perkebunan, namun beberapa meter sebelum mulai masuk area perkebunan ada yang cukup menyita perhatian kami.


Kami di gonggongi cukup lama oleh seekor anjing berwarna hitam yang entah milik siapa, yang tentunya tidak terlalu Kami hiraukan, mengingat di perkampungan seperti ini memang sudah biasa terdapat banyak anjing penjaga hewan ternak maupun penjaga kebun, meskipun anjing ini sedikit aneh karena anjing kebanyakan yang kami lihat biasanya terlihat bergerombol dan tidak berada di perkebunan jika tidak sedang mengikuti majikannya, tapi Kami tidak melihat satupun anjing lain ataupun orang selain kami berenam di sekitar situ.

Kami pun mulai memasuki area perkebunan saat itu.

Baru sekitar 10 menit Kami berjalan memasuki area perkebunan,

Kami semua mendengar suara yang suaranya seperti suara besi yang di pukul dengan besi berulang-ulang,

Suaranya terdengar seperti “Teng…Teng…Teng..” terus-menerus berbunyi dengan nada yang statis.

Kami saling bertanya suara apa itu karena menurut kami suara besi nyaring yang saling dipukulkan ditengah-tengah perkebunan dengan suara yang cukup nyaring terdengar aneh dan janggal, mengingat Kita sudah cukup jauh dari pemukiman.

Karena penasaran kami berenam berpencar tidak terlalu jauh untuk mencari sumber suara tersebut.

Namun karena tidak menemukan sumber suara besi itu berasal, Kami melanjutkan perjalanan dengan tidak terlalu menghiraukan suara besi yang cukup menganggu itu walaupun suaranya tidak kunjung berhenti.

Kita berjalan terus menapaki jalan setapak yang masih cukup datar dan belum terlalu menanjak.


Lalu mulai memasuki hutan. Di perbatasan antara kebun dan hutan Kami berenam kaget karena bertemu dengan sepasang lelaki dan perempuan muda sekitar berumur 25 tahunan yang entah sedang melakukan apa ditengah gelapnya kebun malam-malam begini.

Ketika kami menyorotkan senter ke arah mereka, si pria tiba-tiba gelagap lalu berdiri seraya menggoyang-goyang kan paralon saluran pengairan kebun yang berada di dekatnya (Pengalihan Isu) Lalu dia bertanya,

“Kamarana Euy?” (Mau Pada Kemana Bro?)

Lalu Saya menjawab sambil berlalu,

“Ka Malabar A” (Ke Malabar)

Sambil membicarakan apa yang sedang dilakukan sepasang pemuda itu kami terus berjalan hingga akhirnya tiba di pos 1.


Di pos 1 kami beristirahat cukup lama sambil merokok dan membuat api unggun, kami masih membicarakan sepasang pemuda tadi yang berkemungkinan sedang mesum malam-malam di tengah gelap perkebunan, karena malam begini sudah dapat dipastikan bahwa kebun adalah tempat yang sangat sepi dan pas untuk melakukan hal nekat karena kemungkinan nya sangat kecil akan ada yang melihat atau memergoki kecuali jika sedang musim panen atau bernasib buruk dengan kebetulan ada pendaki gunung yang sedang melintas seperti Kami berenam.


Kebetulan di pos 1 Saya duduk agak terpisah dari yang lain karena posisi pos 1 tidak terlalu luas dengan kontur tanah yang sedikit miring, Saya duduk membelakangi teman-teman yang lain sambil merokok dan terus melihat sekeliling tanpa (belum) memikirkan tentang hal mistis apapun.

Dipikiran saya hanya ada “Jam berapa kami akan sampai di puncak?” atau “Apakah puncak Gunung Malabar ini masih jauh?” pokoknya saya hanya memikirkan puncak dan puncak.


Sampai tiba-tiba pandangan Saya terpaku pada sebuah pohon cukup besar yang berada tepat beberapa meter di depan Saya yang gelap namun terlihat samar-samar seperti ada sosok kasar berwarna putih yang sedang berdiri di depan pohon tersebut, Saya dan pohon itu tidak terhalang apapun, hanya terpisahkan jarak oleh jalan setapak yang cukup luas.

Lalu tiba-tiba Adul menepuk pundak Saya dan bilang,

“Ieu Kue Ngeunah” (Ini Kue nya Enak) sambil menyodorkan kemasan berwarna merah yang cukup besar.

Pandangan dan pikiran saya pun langsung teralihkan dan mengambil beberapa keping kue yang Adul sodorkan tadi.

Saya pun mulai tidak terlalu menghiraukan mahluk berwarna putih apa yang saya lihat samar-samar di depan pohon besar tadi dengan dalih mungkin itu cuma perasaan Saya saja.


Tidak lama setelah itu kami semua mendengar suara motor yang menyala, suaranya terdengar statis seperti sedang dipanaskan, namun saat itu kami belum terlalu menghiraukannya karena kami menganggap itu hanya suara motor biasa yang melintas pada sekitaran pemukiman dibawah sana.

Setelah selesai merokok dan selesai memakan beberapa cemilan kami semua kembali berdiri lalu melanjutkan perjalanan. Namun, baru beberapa meter kami berjalan naik, kejanggalan yang lain muncul.

Di jalan setapak yang kami jajaki di hampir setiap rumput pinggir jalan setapak tersebut terdapat kunang-kunang yang berjajar menerangi jalan setapak yang kami lewati,

Kami terus berjalan dengan mulai sedikit merasa bahwa ada yang janggal dengan perjalanan pendakian malam Jumat ini,

Namun masih belum terlalu meghiraukan dan masih berjalan dengan bercanda tawa.


Setelah beberapa lama berjalan dari pos 1 Kami semua mulai kebingungan dengan jalan setapak yang mulai menyabang-nyabang seiring hutan yang semakin lebat dan rapat, yang membuat aneh adalah bahwa diantara kami berenam, Irgi, Amad, dan Adul sudah pernah mendaki gunung ini beberapa kali sebelumnya, namun mereka juga merasa kebingungan dengan jalan yang kami lalui ini.

Mereka bertiga bilang,

"Teuing euy poek, Asa beda jalan na" (Bingung duh gelap, kaya beda jalannya)

Agan dan Saya pun mulai merasa jengkel karena menyangka Irgi, Adul dan Amad pelupa padahal Irgi belum lama mendaki ke Gunung Malabar ini.


Namun Kami tetap berusaha berpikir dingin dan rasional, mungkin karena ini memang perjalanan malam pertama mereka ke Gunung ini, jadi memang agak sulit untuk bernavigasi darat. Lalu Kami pun terus berjalan dengan perasaan dan pikiran yang mulai agak ragu,

“Apakah jalan yang kami lalui ini jalan yang benar untuk bisa sampai ke puncak?” mengingat cabang jalan setapak yang kerap kali kami temui.

Kami terus berjalan sambil terus bercanda tawa berusaha mencairkan suasana dari keraguan dan rasa takut yang mulai muncul seiring memasuki hutan yang semakin lebat, gelap, dan semakin rapat.


Mengingat sebenarnya Gunung Malabar ini belum menjadi Gunung konvensional atau Gunung yang dikelola Sebagai tempat wisata, Jadi Gunung ini masih cukup jarang dikunjungi pendaki dan tentu hutannya masih cukup asri jika dibandingkan Gunung-Gunung konvensional atau Gunung wisata.

Langit cukup cerah malam itu dengan bulan purnama yang terlihat bersinar terang dilangit dan taburan bintang-bintang yang bisa Kita lihat sebelum memasuki hutan tadi, sekarang mulai tak terlihat, tertutup pohon-pohon di dalam hutan yang semakin rapat dan membuat suasana mulai mencekam, mengingat Kami masih ragu dengan jalan yang kami lalui ini, apakah memang jalan yang benar atau salah untuk bisa sampai ke puncak.

Ditambah lagi suara besi yang tadi kami dengar di beberapa menit ketika awal pendakian masih terdengar jelas padahal sudah sekitar 2-3 jam kami berjalan, suara motor statis yang Kami dengar di pos 1 tadi pun masih terdengar tidak menjauh dan tidak mendekat apalagi menghilang, dan kunang-kunang yang sedari tadi Kami lihat berjajar di setiap pinggiran jalan setapak yang kami pijak masih terlihat dengan nyala yang berwarna khas, bahkan rasanya terlihat semakin banyak, satu dari dua headlamp yang Kami bawa mulai error dan seringkali mati nyala sendiri, dan satu-satunya senter yang Kami bawa sudah dalam keadaan sangat redup dan sudah tidak memungkinkan untuk digunakan menerangi perjalanan.

Kami memutuskan untuk mengeluarkan Handphone masing-masing yang kami bawa dengan maksud untuk menyalakan senter flash untuk membantu menerangi perjalanan sebagai ganti headlamp dan senter kami yang sudah tidak dapat digunakan, sedangkan Headlamp yang masih menyala cukup normal milik Saya digunakan oleh Kipot.

Saya semakin merasa janggal dengan perjalanan ini, namun tidak ingin banyak bicara dan membuat suasana perjalanan semakin mencekam. Kami terus berjalan menyusuri hutan yang semakin dingin dan lebat seiring waktu yang melaju semakin malam.


Menurut Irgi, Adul dan Amad yang sudah pernah beberapa kali mendaki ke Gunung Malabar, Estimasi pendakian ke puncak Gunung Malabar paling lama adalah 4 jam jika mulai berjalan dari Kampung Cidulang tempat kami menitipkan kendaraan tadi, sedangkan jam ditangan saya sudah menunjukan pukul 9 malam kala itu, kami pun memperkirakan akan sampai dipuncak gunung Paling lambat jam 10 atau setengah 11 malam mengingat Kami yang berangkat selepas maghrib dan kami tidak terlalu banyak beristirahat lama selain di pos 1 tadi.

Ketika Kami sedang berjalan dijalan yang cukup menanjak tiba-tiba Saya melihat ada cahaya yang tersorot dari arah depan Kami lalu mendengar samar-samar seperti ada yang memanggil, Tanpa berpikir Panjang, Saya pun sontak bilang,

“Aya Pendaki Lain Euy, Itu Di Hareup” (Ada pendaki lain bro, Itu di Depan) Seraya menunjuk ke arah cahaya itu berada,

Kami lega melihat cahaya yang kami anggap cahaya senter dari kelompok pendaki lain tersebut, mengingat suasana gunung ini yang sangat sepi dan jarang ada yang mendaki dan mengingat Kami sedang dalam posisi tidak pasti,

“Apakah jalan yang kami lalui sedari tadi ini adalah jalan yang benar bisa sampai ke puncak?”

Kami berenam lalu berlari berusaha secepat mungkin menghampiri cahaya tersebut,

berharap ada pendaki lain yang mendaki di malam jumat begini sehingga suasana bisa berubah menjadi lebih ramai.

Namun ketika cukup jauh berlari, bukannya menemukan yang kami harapkan, ternyata kami hanya sampai pada sebuah batu besar yang bisa dipijak karena tidak terlampau tinggi dimana di tempat tersebut vegetasi cukup terbuka dan kami bisa melihat langit dengan bulan purnama yang bersinar terang, taburan bintang-bintang, juga sedikit cahaya lampu kota dibawah sana.

Kami cukup kecewa karena ternyata tidak ada satu orangpun disini, dan entah cahaya apa yang Saya lihat menyorot ke arah Kami tadi, tapi karena pemandangan itu kami jadi tidak terlalu menghiraukan cahaya apa tadi dan terpaku ditempat tersebut karena keindahannya, kami terdiam cukup lama diatas batu itu, sambil mulai merokok dan mulai kembali bercanda tawa,

Mengingat kami tidak bisa melihat apapun selama berjam-jam selain hutan rapat yang gelap sedari tadi, Kami merasa sedikit terhibur dan suasana pun menjadi cukup cair.

Namun tidak lama kemudian, Kipot yang sedari tadi selalu memulai candaan dengan kelakuan lucunya bilang,

“Ngambeu teu euy?” (Nyium bau ngga?)

Disusul kami semua yang mengangguk karena mencium aroma seperti bau belerang.

Aneh, padahal Gunung Malabar bukanlah Gunung Volcano atau Gunung Berapi dan tidak memiliki Kawah ataupun Kaldera.

Kami semua cukup kaget mencium aroma tersebut, namun Kipot dengan santainya bilang

“Emh anjing bau endog ieumah, bau endog buruk. Aing teu resep bau endog” (Emh ini mah bau telur, bau telur busuk. Gua gasuka bau telur)

Mulai dari sini perjalanan jauh lebih mencekam dari beberapa jam sebelumnya.

Dengan suara besi yang masih terdengar jelas, suara motor yang statis seolah tidak menjauh dan mendekat pun masih terdengar, dengan kunang-kunang yang masih hinggap disepanjang pinggiran jalan setapak.

Kami berenam lalu tetap melanjutkan perjalanan.

Target kami sebelum puncak adalah POS 4 dimana itu akan menjadi tempat beristirahat kami yang terakhir sebelum melanjutkan perjalanan dan bermalam di puncak, karena berdasarkan pengalaman Adul, Irgi, dan Amad jarak dari Pos 4 ke puncak tidak terlalu jauh.

Kami pun berjalan kembali memasuki hutan yang rapat dan gelap dengan masih berusaha berjalan sambil bercanda dengan posisi Kipot di Paling depan, disusul Adul, Lalu Amad, Agan, Saya (Pokis), dan Irgi di Paling belakang.

Waktu pada jam tangan saya sudah menunjukan pukul 10 malam kala itu,

jika berpatok pada Estimasi pendakian berarti pos 4 dan puncak gunung tidak jauh lagi.

Jika ada yang bertanya kenapa sedari tadi Pos 2 dan Pos 3 sama sekali tidak dibahas ataupun disinggung, itu adalah karena memang selama Perjalanan pendakian kami tidak menemukan Pos, selain Pos 1 dan Pos 4, Pos 1 memiliki ciri ukuran tempat yang cukup luas dan kami menyimpulkan Pos 1 berdasarkan Informasi dari Adul, Irgi, dan Amad yang telah beberapa kali mendaki ke Gunung Malabar, dan berdasarkan penuturan mereka saat pertama kali mereka mendaki ke Gunung ini terdapat plat bertuliskan Pos 1 yang terpasang disekitar tempat yang kami simpulkan adalah Pos 1 dibawah tadi.

Sedangkan Pos 4 menurut penuturan Adul, Irgi dan Amad memiliki Plat bertuliskan Pos 4 yang terpasang pada pohon besar.

Kami terus berjalan dan berjalan, menyusuri dedaunan tinggi yang tingginya lebih tinggi dari tubuh kami, bergantian dengan pepohonan yang rapat dan hutan saat itu dipenglihatan kami begitu gelap. Sesekali kami menemukan seperti akar pohon yang rapat melingkar mempersempit jalan yang kami lalui, tumbuhan tersebut membentuk seperti terowongan yang membuat kami harus membungkuk bahkan merangkak untuk melewatinya.

Kami terus berjalan dengan melewati dedaunan tinggi dan pepohonan rapat yang tak jarang bergantian, sampai akhirnya Adul bilang,

“Pos 4 Euy” (Pos 4 Gaes)

Mengingat posisi Nya yang ada didepan bersama Kipot kami yang berada dibelakangnya berlari bersemangat menuju ketempat Adul yang cukup berjarak didepan, ketika sampai Kami berenam langsung terduduk dan membuka sedikit cemilan untuk mengisi perut dan mulai kembali merokok, Setelah cemilan habis Amad yang sedari tadi melihat sekeliling tiba-tiba bilang,

“Dul, Sainget Urang Ieumah lain POS 4” (Dul, Seinget Gua Bukan ini Pos 4)

Adul yang spontan melihat sekeliling, dan tidak menemukan Pohon besar yang terpasang plat bertuliskan POS 4 langsung bilang,

“Heeh bener, Hayu Lanjut Jalan” (Iya Bener, Ayok Lanjut Jalan)

Kipot sambil Berjalan bilang,

“Anjing tertipu kita bangsat, Pos 4 KW Ieumah” (Anjing tertipu Kita Bangsat, ini Pos 4 palsu)

Kami yang mendengar mereka berkata demikian sontak langsung berdiri dengan agak terburu-buru, Seraya Kami semua bergegas Kembali berjalan dengan Irgi yang meninggalkan sampah plastik kemasan bekas cemilan diatas batu tempat Dia terduduk tadi.

Di Gunung kita memang tidak boleh dan sebenarnya Kami tidak biasa membuang sampah sembarangan, namun saya punya firasat lain dan berniat akan membawa sampah ini esok hari ketika turun gunung.

Kami terus berjalan berharap segera menemukan pos 4. Berjalan dan berjalan sampai waktu sudah menunjukan pukul 12 malam, Namun tidak kunjung menemukan POS 4 yang sesungguhnya kala itu.

Kami semakin merasa janggal, Suara besi dan suara motor sudah tanpa saya sadari ternyata sudah menghilang, namun kunang-kunang di pinggiran jalan setapak masih terlihat.


Kipot yang sedari tadi paling sering memulai candaan sekarang sudah mulai terdiam dengan sedikit-sedikit berhenti berjalan membuat kami semua otomatis berhenti berjalan juga.

Ketika berhenti Kipot bertanya kepada Adul yang berada tepat di belakangnya,

“Dul, Itu Naon Di Hareup?” (Dul, Lihat Itu di Depan Ada Apa?) Seraya menoleh ke arah belakang dengan suara yang cukup pelan.

Adul yang sambil tertunduk menjawab seolah bahwa dia sudah memeriksa apa yang ada di depan,

“Eweuh Nanaon Pot, Hayu We Lanjut!”

(Ga Ada Apa-apa Pot, Ayok Lanjut Aja!)

Tidak lama dari itu, Kami semua mendengar suara.

Suara itu terdengar sangat berat dan terdengar seperti lelaki tua. Suaranya cukup jelas,

"Menta Udud Euy.." (Minta Rokok)

Kami semua mendengarnya dan sontak berhenti berjalan lalu saling tatap dengan wajah yang tegang dan takut.

Adul yang berusaha menghiraukan suara tersebut lalu bilang

"Hayu Lanjut We Pot!" (Ayok Lanjut Aja Pot!) Sambil sedikit mendorong carrier Kipot.

Kami lanjut berjalan dengan formasi yang semakin rapat, Kami saling berpegangan pada tas carrier yang ada di depan Kami dengan Kipot yang masih di posisi paling depan dan Irgi yang berada di paling belakang.

Saya yang dari tadi merasa seperti ada yang mengikuti mulai mendengar seperti suara langkah kaki yang terletak dibelakang Irgi, karena khawatir, sedikit-sedikit Saya menoleh ke arah belakang untuk memastikan Irgi masih ada dan baik-baik saja.

Lalu saya bilang,

"Hayu Gi, cekelan tas carrier urang!" (Ayok Gi, Pegang Tas Carrier Ku)

Dengan suasana yang semakin mencekam dan candaan yang sudah tidak sanggup saling Kita lontarkan lagi, Kita terus berjalan.

Waktu semakin malam, kala itu jam Saya sudah menunjukan pukul 12 lebih dini hari.

Kami semakin panik karena POS 4 Tak kunjung terlihat juga, Agan pun yang sedari tadi menggunakan tongkat kayu yang dia ambil di perkebunan tempat awal pendakian tadi untuk membantu berjalan, akhirnya dia tancapkan ke tanah tepat ditengah-tengah jalan setapak yang cukup lenggang dengan ciri khas di dekat situ terlihat pohon besar yang menjulang cukup tinggi tidak memiliki tangkai, ranting dan daun. Dia lalu mengikis bagian ujung atas tongkat dan meninggalkan tongkat tersebut.

Kami lalu lanjut berjalan menyusuri jalan yang memang dirasa sedari tadi berputar putar dijalan yang itu itu saja.

Saya mulai berpikir, mungkin Agan menancapkan kayu itu bukan tanpa alasan.

Setelah sekitar 45 menit berjalan, benar saja.

Kami Kembali menemukan tongkat yang ditancapkan Agan ditempat yang terdapat pohon tinggi tidak bertangkai, tidak beranting, dan tidak berdaun tadi.

Agan bilang,

"Ieu Tongkat Urang Nu Bieu Kan?" (Ini Tongkat Ku Yang Tadi Kan?)

Semua lalu saling bertatapan heran.

Dilihat-lihat lagi, itu memang tongkat yang digunakan Agan tadi, karena menancap ditengah jalan setapak dengan ujung atas yang dikikis.

Kami mulai kehilangan harapan, Kami mulai kalut, mulai berpikir aneh-aneh, takut kalau saja Kita semua tersesat dan tidak bisa pulang Kembali lagi ke rumah.

Saya mengira kejadian berputar-putar seperti ini hanya ada di Film-Film Horror atau cerita omong kosong belaka, Namun ternyata Saya mengalaminya sendiri kala itu.

Ditengah rasa panik yang Kami rasakan, Agan mencoba menenangkan semua dengan berkata,

"Geus ayeunamah diuk heula, hayu berdoa, berdoa.." (Udah Sekarang Kita Duduk Dulu, Ayok Berdoa)

Kami serentak duduk ditempat itu dan mulai berdoa dengan diiringi rasa yang campur aduk.

Kami terduduk cukup lama, Panik, takut, dan gelisah, bingung harus melanjutkan perjalanan atau kembali pulang.

Setelah selesai berdoa, kami sedikit berdiskusi dan Saya mengingat pelajaran survival yang Saya pelajari bahwa jika tersesat di gunung Cari tempat yang Paling tinggi diantara tempat tersebut, jika ingin menemukan pemukiman ikuti aliran Sungai, karena tidak ada Sungai disekitaran tempat tersebut, Sayapun menyarankan untuk melanjutkan Naik, mengingat waktu sudah terlalu larut, takutnya jika memilih untuk turun kami semua malah semakin tersesat, mengingat hutan ini sangat rapat dan gelap, lampu senter yang kami gunakan pun daya nya sudah mulai melemah.

Kami pun mulai berdiri dan Kembali berjalan berharap jalan yang kami tempuh berhenti berputar dan tertuju ke arah puncak atau setidaknya sampai pada pos 4.

Kami terus berjalan sambil berdoa dalam hati.

Tak disangka setelah Kami berdoa, sekitar 15 menit berjalan, Kami menemukan POS 4 yang daritadi menjadi target tempat istirahat terakhir Kami sebelum beranjak ke puncak.

Kami cukup lega karena itu memang POS 4 sungguhan, mengingat akan penuturan Adul, Irgi dan Amad bahwa ada Plat besi bertuliskan POS 4 yang terpasang pada pohon besar.

Kami pun duduk disana, membuat api unggun dan menaruh tas carrier yang berjam-jam melekat di punggung kami.

Irgi, Kipot dan Amad duduk membelakangi Pohon yang terpasang plat Pos 4, dan Adul, Agan, Saya duduk berhadapan dengan mereka, Kami terpisahkan oleh api unggun yang berada di tengah.

Karena sudah tersesat berjam-jam, Kami pun berencana bermalam di Pos 4 karena waktu sudah menunjukan pukul 1 malam yang mana melenceng 3 jam dari perkiraan estimasi waktu pendakian normal dan Kami semua sudah sangat lelah, ditambah lagi Irgi bilang dia sudah sangat mengantuk dan tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan, Kami pun memutuskan untuk bermalam di pos ini sampai menunggu pagi hari datang untuk kemudian bisa turun dengan lebih lancar karena lebih mudah untuk bernavigasi darat.

Kami lebih memilih untuk lebih dahulu memasak dan membuat kopi daripada mendirikan tenda, karena perut kami sudah sangat lapar saat itu. Agan, Adul, dan saya mulai memasak dari logistik yang Kami bawa, dan Irgi, Amad, dan Kipot masih duduk berjajar sambil merokok dan mulai sedikit-sedikit tertidur.

Kami semua sebenarnya sudah mengantuk karena melalui perjalanan yang sangat menguras tenaga dan emosi ditambah lagi ini memang sudah waktunya untuk tidur mengingat waktu sudah lewat tengah malam, Kami mulai bisa mengobrol dan sedikit bercanda-canda karena diawali dengan Irgi yang tertidur sembari duduk dengan kepala yang tertunduk dan rokok yang masih ada di bibirnya dalam keadaan menyala. Melihat itu kami serentak tertawa dan suasana yang tegang mulai sedikit mencair, Kami mulai menyantap makanan dengan formasi melingkar, namun dibalik suasana yang mencair saya tetap merasa tidak enak berada ditengah-tengah kegelapan hutan di POS 4 itu.

Saya merasa seperti sedang diawasi dari segala penjuru, sebenarnya Saya sangat tidak nyaman jika harus bermalam di POS 4, namun mengingat Irgi sudah sampai ketiduran ketika merokok tadi, dan melihat kondisi teman-teman yang lain pun sudah sangat kelelahan, Saya mencoba untuk tetap tenang.

Makanan telah habis disantap, Saya dan Adul terus menambahkan kayu untuk api unggun yang kami buat agar apinya tetap menyala, Irgi sekarang sudah tertidur cukup lelap di posisi duduknya. Agan dan Kipot masih sedikit mengobrol sembari minum kopi hangat, sedangkan Amad sedari tadi hanya tertunduk dan tetap tertunduk walaupun diajak bicara, namun matanya masih terbuka yang berarti dia tidak tidur, Amad terlihat seperti tidak ingin membicarakan apapun setelah peristiwa mencekam tadi.

Tiba-tiba Kipot bilang ditengah-tengah keheningan,

“Arah Jam 12 euy” (Arah Jam 12 Bro)

Kami yang belum mengerti apa yang dia bicarakan pun bertanya,

“Naon ai Maneh Pot?’ (Apa sih Lu Pot?)

Kipot Kembali bilang,

“Eta Tingali Arah Jam 12” (Itu Liat di Arah Jam 12) sambil mengarahkan nyala senter ke arah yang dia maksud.

Kami sontak menoleh ke cahaya yang dia arahkan dengan lampu senternya.

Disitu Kami melihat dua sosok yang berbeda.

Agan dan Saya melihat sosok kakek-kakek tua yang berdiri melihat ke arah kami,

Sedangkan Kipot dan Adul melihat sosok perempuan berbaju putih yang melayang disebelah pohon besar lalu samar dan menghilang. Irgi yang masih tertidur dan Amad yang masih saja menunduk sepertinya tidak melihat diantara 2 sosok tersebut. Kami pun mulai merasa panik dan tidak tenang lalu berpikir bahwa tidak akan aman jika Kami tetap bermalam disini.

Tidak lama kemudian Kipot yang duduk dipaling kiri diantara jajaran Irgi dan Amad melihat sosok wanita berwajah rusak yang bersandar di carrier miliknya yang dia sandarkan tepat disamping kiri tempat dia duduk, wanita itu menatap ke arahnya dengan tatapan tajam dengan kepala yang mendangak dengan wajah yang sangat pucat.

Kipot lalu terpejam sambal berbisik aga keras memanggil Adul

“Dull, Kadieu Dul!” (Dul, Kesini Dul!)

Sembari menarik tangan Adul yang bisa Dia jangkau, Adul pun tertarik dan jongkok tepat di depan kipot, seketika itu pula Adul melihat wajah sosok wanita yang sangat pucat dan agak rusak itu. Mereka berdua panik, seram, dan takut namun tetap berusaha untuk tidak memberi tahu yang lain lalu mengalihkan dengan mengajak untuk segera pergi dan melanjutkan perjalanan menuju ke puncak.

Agan pun berpikiran demikian, namun Saya dan teman-teman yang lain sedikit berdebat untuk Kembali melanjutkan perjalanan ke puncak atau tetap bermalam di POS 4.

Jika tetap berada di POS 4 hal-hal yang lebih mengganggu atau bahkan mahluk gaib yang berdatangan kemungkinan akan lebih banyak atau situasi berkemungkinan menjadi lebih buruk lagi. Namun melihat kondisi Irgi yang sudah tertidur cukup lelap dan kondisi kami yang sudah sangat kelelahan membuat saya berpikir lain, saya menyarankan untuk bermalam disini saja takutnya jika melanjutkan perjalanan kita akan tersesat dan berputar-putar lagi seperti tadi.

Akhirnya setelah sekitar setengah jam kami berdebat di POS 4, Kami memutuskan untuk berkemas dan melanjutkan perjalanan, saya membangunkan Irgi berharap karena sudah tidur walaupun sebentar dia sudah sanggup untuk melanjutkan perjalanan.

Jam 2 dini hari Kami mulai Kembali melanjutkan perjalanan mengikuti jalan setapak tunggal yang mengarah ke atas. Kami semua berjalan dengan setengah mengantuk karena baru Irgi saja yang terlelap tidur itupun sebentar.

Kami berjalan menyusuri hutan yang masih rapat bergantian dengan daun yang tinggi seperti sebelumnya, perjalanan masih terasa mencekam, saya merasa bahwa Kami berjalan dengan di awasi dari segala penjuru. Posisi berjalan Kami sekarang berganti dengan Adul yang ada di paling depan di susul kipot dan Amad, lalu Agan, Irgi, dan saya ada di paling belakang,

Tidak ada hal yang mengganggu secara fisik selama perjalanan ini namun kami masih tetap merasa diawasi dari segala penjuru.

Kami terus berjalan sambil berharap perlahan vegetasi akan mulai sedikit terbuka yang artinya itu menandakan bahwa puncak tidak jauh lagi. Lalu kami Kembali menemukan tumbuhan yang menjalar ke tengah membentuk seperti terowongan seperti dibawah tadi, namun yang ini sedikit berbeda, terowongan ini terbentuk dari tumbuhan bambu kuning yang ukurannya cukup kecil di banding pohon bambu kuning pada umumnya.

Kita pun melewati terowongan tersebut dengan posisi berjalan tertunduk, dan ketika kami semua telah melewati terowongan itu baru beberapa Langkah, terdengar suara

“AAA… AAA… AAA…” di susul dengan satu lampu flash dari Handphone Kipot yang sedang Saya pegang tiba-tiba mati karena kehabisan daya baterai.

Itu suara perempuan, suaranya cukup melengking dan terdengar cukup jelas.

Entah darimana sumber suaranya namun terdengar tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri.

Langkah kami pun terhenti dengan saling menatap satu sama lain.

Kipot dengan wajah yang tegang lalu bilang,

“Ngadenge teu?” (Denger Ngga?!)

Kami semua langsung mengangguk menjawab dengan suara pelan dan muka yang tegang;

“Heeh” (Iya)

Suaranya masih terdengar ketika Kami berhenti, Kami berpikir apakah mungkin itu suara pendaki lain yang sedang menuju ke puncak atau seorang perempuan yang tersesat?

Tapi Amad langsung mematahkan dugaan itu dengan bilang,

“Hayu lanjut!” (Ayok Lanjut!) seperti tidak ingin membahas suara apa itu.

Kami Kembali lanjut berjalan dengan suara teriakan yang masih terdengar.

Saya pun terpaku dengan pikiran bahwa itu adalah suara makhluk gaib yang mungkin bermaksud Kembali menyesatkan kami.

Kami terus berjalan dan waktu sudah menunjukan pukul 2.20 malam

Kami sedikit bersyukur karena seperti yang kami harapkan vegetasi mulai terbuka, hutan yang tadinya rapat dan gelap sudah mulai berjarak dan kami bisa mulai melihat langit dengan bulan purnamanya yang bersinar terang.

Ketika kami mulai bisa melihat ke arah atas, saya bermaksud bertanya kepada tiga orang teman yang sudah pernah kesini sebelumnya,

“Jauh Keneh Teu Euy?” (Masih Jauh Ngga Sih?)

Adul pun menjawab dengan sigap,

“Eta puncakna” (Itu Puncaknya) sambil menunjuk ke arah sebuah pohon tidak berdaun yang terlihat tidak terlalu tinggi.

Rupanya pohon itu adalah ciri khas puncak Gunung Malabar.

Kami jadi bersemangat mendengar Adul berkata demikian, Kami berusaha mempercepat Langkah dengan harapan segera sampai ke puncak.

Namun ternyata ada hambatan lain, jalan setapak tunggal yang sedari tadi kita pijaki berujung pada jalan buntu yang terhalang sebuah batu besar dan tumbuhan yang sudah lebat menjalar.

Agan pun bertanya kepada 3 orang yang pernah mendaki ke gunung ini sebelumnya.

“Buntu euy, kumaha ieu?” (Jalannya Buntu Gimana Nih?!) dengan nada agak jengkel

Kipot dan Amad pun berbalik arah mencari barangkali ada cabang jalan di sekitar situ yang tadi terlewat.

Padahal puncak sudah terlihat didepan mata, namun hal yang tidak di duga-duga begini lagi-lagi terjadi.

Kami berpencar tidak terlalu jauh untuk mencari jalan yang bisa dilewati untuk sampai ke puncak, setelah beberapa menit berjalan, Agan menemukan jalan yang bisa dilalui yaitu jalan yang melipir ke arah kiri dari jalan buntu yang terhalang batu tadi.

Kami pun mulai menerabas ke arah kiri dengan pijakan yang sangat sempit, sambil berpegangan pada tumbuhan di sekitar yang cukup kuat untuk menahan beban tubuh Kami.

“Alhamdulillah, Puncak Euy” (Alhamdulillah Puncak Bro) kata Adul yang berada paling depan berteriak.

Saya yang berada di paling belakang langsung bergegas mempercepat langkah ingin segera melihat puncak gunung dan beristirahat dengan tenang diatas sana.

Setelah bisa melewati jalan sempit itu, Kami semua lega karena benar-benar sampai dipuncak.

Sesampainya dipuncak hal yang pertama kami lakukan adalah menaruh tas carrier dan membuat lingkaran cukup besar dengan posisi saling membelakangi lalu buang air kecil dengan hati yang lega, karena kami semua tidak ada yang berani buang air kecil selama perjalanan yang mencekam tadi.

Bahkan saat beristirahat sekalipun, kami lebih memilih menahan kencing karena sebenarnya rasa ingin kencing itu teralihkan oleh rasa panik, takut, dan kalut karena perjalanan mencekam dan berbagai mahluk yang kami lihat dibawah tadi.

Setelahnya Kami mengumpulkan kayu bakar, dan mulai menyalakan api unggun.

Waktu ketika kami sampai di puncak gunung Malabar adalah 02.37 WIB dimana itu melenceng 4 setengah jam dari perkiraan estimasi waktu pendakian normal, yang mana memunculkan pertanyaan yang sama dibenak kami berenam,

“Kemana kami tersesat tadi sampai 4 jam lamanya?”

Dipuncak gunung kami merasa lebih baik, tidak ada lagi bunyi besi yang suaranya mengganggu, tidak terdengar lagi suara motor statis yang tidak mendekat maupun menjauh selama berjam-jam lamanya ditengah kegelapan malam, tidak terlihat lagi kunang-kunang yang menyala di sepanjang sisi jalan setapak yang selama ini kami lewati, tidak ada lagi suara-suara aneh yang asalnya entah darimana, tidak ada lagi penampakan mahluk-mahluk gaib, dan tidak terdengar lagi suara teriakan perempuan yang tadi terdengar tidak terlalu jauh sebelum kita sampai dipuncak, kami tidak lagi merasa ada yang mengawasi kami dari segala penjuru.

Kami merasa puncak gunung ini adalah area paling aman dari semua bagian gunung dan hutan yang telah kami lewati berjam-jam lamanya.

Karena itu, kami mulai sedikit saling bercerita tentang apa saja hal janggal yang masing-masing dari kami lihat, dengar, atau rasakan selama perjalanan yang sangat berbeda dengan perjalanan kami ke gunung-gunung lain sebelumnya.

Kami duduk melingkari api unggun yang tidak terlalu besar nyalanya, lalu Irgi mengawali pembicaraan dengan bilang,

“Urang sabenerna hayang ngompol ti handap keneh anjir, ti saacan arurang ngambeu bau belerang, ngan teu wani ngompol soalna asa ngarasa aya nu nuturkeun tukangeun urang” (Aku Sebenernya Pengen Buang Air Kecil Sejak Dari Bawah Anjir, Dari Sebelum Kita Nyium Aroma Bau Belerang, Tapi Ga Berani Buang Air Kecil Soalnya Kayak Ada Yang Ngikutin Kita di Belakang Ku)

Saya yang mendengar suara langkah kaki yang berada di belakang Irgi langsung menyaut,

“Heeh saprak bau belerang tea urang ge ngadenge di tukangeun maneh aya nu leumpang matakan urang mineng ningali ka tukang, bisi maneh leungit”

(Iya Semenjak Bau Belerang Itu Aku Juga Ngedenger Di Belakang Mu Ada Suara Orang Jalan, Makannya Aku sering Noleh Liat Ke Arah Belakang, Takut Kamu Ilang) sambil sedikit tertawa.

Lalu Kipot mulai membahas tentang apa yang dia lihat selama dia berjalan dipaling depan,

“Aing matak mineng ereun leumpang teh ningali wae aki-aki anjir, jeung pas di POS 4 urang ningali awewe ngalayang di sisieun tangkal”

(Mangkanya aku sering berhenti Jalan tuh Sering Liat Kakek-Kakek Anjir, Terus Pas di Pos 4 Gua Liat Kaya Cewe yang Melayang Di sebelah Pohon)

Mendengar POS 4 Adul langsung menyaut,

“Sia ajig teu inget nu di belah kiri maneh, nu bengeut na ngadangak dina carrier maneh?”

(Kamu Gak Inget Yang di Sebelah Kiri mu, Yang Mukanya Ngedangak Di Carrier mu?!)

Kipot langsung menjawab,

“Heeh ajig aing reuwas pas ningali ka kiri aya bengeut awewe pucet, bengeutna ruksak”

(Iya Aku Juga Kaget Pas Liat Ke Kiri Ada Muka Cewe Pucat, Mukanya Rusak)

Agan dan saya yang mendengar cerita mereka melihat penampakan langsung ikut bicara,

“Heeh urang ge ningali aki-aki di POS 4” sigana eta nu sora “Menta Udud Euy”"

(Iya Aku Juga Liat Kakek-Kakek Di Pos 4, Kayaknya Itu Suara yang 'Minta Rokok')

Amad yang sedari tadi tidak banyak bicara tiba-tiba bilang

“Urang ge ningali awewe NGERI di POS 4”

(Aku Juga Liat Perempuan Serem di Pos 4)

Disitu saya mengerti kenapa Amad tidak mau banyak mengobrol dan selalu tertunduk di POS 4.

Lalu Kipot tiba-tiba menyaut nyeleneh sembari bangkit dari duduknya dan bilang Dia ingin tidur dengan menggantungkan Sleeping Bag nya di pohon dan tidur dengan posisi berdiri.

Kami yang mendengarnya sontak tertawa, karena Kipot yang selalu punya bahan candaan telah Kembali setelah berjam-jam diam tidak sanggup bercanda diperjalanan karena saking mencekamnya.

Waktu semakin beranjak menuju Pagi. Irgi, Adul, dan Amad sudah terlelap didalam tenda, sedangkan Agan, Kipot, dan saya masih mengobrol sambil merokok di depan api unggun sambil sesekali kekeuh membicarakan tersesat kemana Kami tadi.

Kami bertiga terjaga sampai sekitar jam 5 Pagi, sampai akhirnya Kami pun tertidur di depan api unggun.

Hanya tidur 1 jam Agan dan Kipot Kembali terbangun dan membangunkan saya namun saya memilih untuk tetap tidur karena merasa masih sangat mengantuk, Irgi juga terbangun kala itu, sedangkan Amad dan Adul masih terlelap didalam tenda.

Agan dan Irgi mengambil Foto karena saat itu matahari sedang terbit dengan dominasi warna merah yang sangat cantik diujung timur sana, sedangkan Kipot sibuk mengurusi perut karena lapar.

Pukul 7 pagi saya terbangun dengan 5 teman saya yang sudah terbangun dengan Sebagian yang sedang memasang hammock dan Sebagian lain memasak dan mengabadikan momen dipuncak gunung Malabar kala itu, Kami semua kemudian sarapan dan minum kopi hangat pagi itu. Karena tidak ingin terkena terik diperjalanan pulang, kami segera mengemas barang dan mendokumentasikan beberapa gambar sebelum akhirnya berdoa dan mulai berjalan pulang pada hari Jumat pukul 8.45 Pagi.

Ketika saya hendak mengambil jalan memutar yang semalam kami lalui karena jalan yang buntu, Amad dan Adul kemudian memanggil dan bilang,

“Ieu aya jalan, kadieu” (Ini Ada Jalan, Kesini!)

Seraya saya yang memutar balik dan menuju ke teman-teman yang lain.

Kami lalu memilih jalan yang bukan kami lewati semalam, namun ketika sampai tepat dijalan buntu semalam, kami semua kaget karena jalan yang semalam Kami lihat buntu dan terdapat batu besar adalah jalan setapak yang biasa dilalui untuk sampai ke puncak, dan jalan ini lenggang, terbuka lebar, tidak ada apapun yang menutupi.

Kami cukup kaget karena semalam yang kami lihat dengan jelas adalah jalan buntu yang tertutup oleh batu besar dan tumbuhan lebat yang menjalar, ditambah lagi jalan kekiri yang kami lalui semalam adalah jurang yang sangat dalam tidak terlihat ada yang bisa dipijak, namun kami melewati jalan itu dengan lancar semalam untuk dapat sampai ke puncak.

Kami melanjutkan perjalanan dengan masih terheran-heran, karena pagi hari dan suasana ditengah hutan cukup terang, tidak terlalu jauh berjalan kami dapat melihat hutan yang rapat dan hampir pada setiap batang pohon berlumut segar yang dalam perjalanan semalam kami tidak dapat melihatnya.

Ini membuktikan bahwa kadar oksigen di hutan ini masih sangat melimpah dan segar, tidak ingin melewatkan pemandangan yang langka dan indah ini, kami mulai mendokumentasikan gambar disana.

Beberapa menit kami berfoto sambil merokok, karena meskipun matahari sudah cukup terik namun hutan yang rapat membuat suhu disana tetap dingin.

Setelah cukup puas mengambil gambar dan menikmati hutan lumut, kami Kembali berjalan turun dan tidak terlalu lama kami berjalan kami sudah Kembali tiba di POS 4.

Kami memutuskan untuk sejenak singgah di POS 4 sembari memakan camilan sisa logistik yang ada dan menyalakan api unggun, mengingat suhu masih dingin karena hutan yang rapat sulit tertembus sinar matahari.

Waktu pada jam tangan saya menunjukan pukul 9 tepat kala itu.

Di POS 4 kami masih membicarakan beberapa kejadian mencekam semalam, dan sebenarnya saat itu meskipun sudah pagi hari, saya tetap merasa disana kami masih diawasi dari segala penjuru, saya masih merasa kurang nyaman berada di POS 4.

Sekitar 5 menit kami beristirahat di POS 4, Kami Kembali melanjutkan perjalanan turun dengan Langkah yang tidak terlampau cepat karena kontur tanah tidak terlalu menurun, bahkan bisa dibilang datar.

Saya teringat untuk membawa sampah kemasan cemilan yang Irgi tinggalkan semalam, karena mengingat kami memang tidak terbiasa untuk membuang sampah sembarangan di gunung.

Namun, setelah sekitar 15 menit berjalan kami sudah tiba dibatu tempat vegetasi terbuka dimana kami mencium aroma seperti bau belerang semalam.

Kami berenam kaget dan bingung, mengingat perjalanan semalam dari batu ini menuju ke POS 4 memakan waktu berjam- jam (3-4 jam) semalam, namun pagi ini dari POS 4 kami bisa sampai ke Batu ini hanya dalam waktu 15 menit (Jika alasannya karena jalanan menurun jadi lebih cepat saya rasa tidak mungkin secepat itu, mengingat jalan dari POS 4 sampai ke batu ini tidak terlalu menurun bahkan bisa dibilang datar seperti yang telah saya katakan sebelumnya.)

Ditambah lagi kami tidak menemukan beberapa tempat seperti tumbuhan seperti membentuk terowongan yang kami sering lewati semalam, Kami juga tidak menemukan tempat berbatu tempat Irgi meninggalkan kemasan bekas cemilan yang awalnya kami kira saat malam itu adalah POS 4, Kami saling tatap karena berasumsi bahwa perjalanan semalam memang sangat aneh. Namun tiba-tiba Kipot Kembali berjalan sambil bilang,

“Berarti Sapeuting Arurang Tour And Travel gratis dak”

(Berarti Semalem Kita Tour And Travel Gratis Bro)

Kami pun jadi tertawa mendengarnya, sambil mengikuti Kipot melanjutkan berjalan turun.

Perjalanan turun tidak seperti perjalanan menuju puncak pada malam hari sebelumnya, Kami sangat bersyukur tidak ada hambatan apapun.

Kami mulai berjalan dengan cukup cepat seiring jalan yang semakin menurun dibandingkan di sekitaran POS 4 tadi, kami sudah sampai diprkebunan sekitar jam 10 pagi dan bertemu dengan beberapa orang yang hendak berkebun dan saling sapa.

“Timarana kasep” (Habis Darimana Dek?) seorang ibu-ibu paruh baya bertanya kepada kami saat kami melewati sebuah bangunan kayu seperti saung ditengah tengah kebun, terdapat beberapa orang disana.

Agan pun menjawab

“Ti gunung Malabar Bu” (Dari Gunung Malabar Bu) Ibu-ibu tersebut menjawab seperti bapak di masjid kemarin,

“Uluh, meni warantunan ka Malabar”

(Haduh, Berani banget ke Malabar)

Namun Kami hanya menyaut dengan,

“Pararunteun Pa Bu” (Permisi Pa Bu) seraya terus berjalan.

Sekitar 15 menit dari situ kami berjalan, kami pun tiba di pemukiman bernama kampung Cidulang tempat kami menitipkan kendaraan semalam, namun sebelum ke tempat menitipkan motor, Kami terlebih dahulu singgah di sebuah warung yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat penitipan motor.

Kami membeli beberapa gorengan, kopi, dan juga rokok, karena logistik kami sudah habis sejak dari POS 4 saat perjalanan turun tadi.

Bapa pemilik warung pun menanyakan pertanyaan yang sama yang ditanyakan oleh bapak-bapak di masjid kemarin dan ibu-ibu dikebun tadi,

“Timarana ieu teh?” (Pada Darimana nih?) sambil memberi makan anjing peliharaannya.

Saya pun menjawab,

“Ieu ti puncak Gunung Malabar Pa”

(Ini Habis Dari Puncak Gunung Malabar Pak)

Dia menyaut,

“Oh ti Puncak Besar nya?” (Oh Dari Puncak Besar Ya?)

Saya pun menjawab

“Muhun Pa” (Iya Pak)

Agan tanpa di tanya lalu tiba-tiba bilang,

“Ieu teh sawengi di Linglungkeun Pa”

(Ini Tuh Semalam Tersesat Pak)

Bapa itu menyodorkan beberapa gelas kopi yang kami pesan seraya bilang,

“Malabar teh sanget keneh, warga didieu percaya yen di Gunung Malabar teh aya Karajaan (Gaib)"

(Malabar Tuh Masih Angker, Warga Disini Percaya Bahwa Di Gunung Malabar Itu Ada Kerajaan)

Lalu setelah itu bapak-bapak tersebut juga bercerita bahwa tidak lama ini ada 2 kejadian gantung diri di kaki Gunung Malabar ini.

Kami hanya mendengarkan cerita si Bapak sambil cukup kaget dan agak ngeri jika mengingat-ngingat perjalanan Kami semalam tanpa menjawab apapun.

Lalu Irgi yang sudah selesai menghabiskan satu batang rokok tiba-tiba bilang,

“Hayu Ah Balik, Bisi Teu Kaburu Sholat Jumat.”

(Ayok Ah Pulang, Takut Gak Keburu Sholat Jumat)

Bapak-Bapak pemilik warung tersebut lalu tiba-tiba menoleh dengan wajah yang terlihat heran,

Seraya bilang,

“Naraek dinten naon emang Jang?”

(Emang Kalian Naik Hari Apa?)

Saya menjawab,

“Dinten Kamis Sonten Kamari Pa, Malam Jumat”

(Hari Kamis Sore Kemarin Pak, Malam Jumat)

Si Bapa Lalu bertanya,

“Kamari? Naha Barade Jumaahan? Pan Ieu Mah Dinten Minggon Kasep.

3 Dinten 3 Wengi Kan Aranjeun Di Luhur Teh?”

(Kemarin? Kok Mau Jumatan? Kan Ini Hari Minggu. 3 Hari 3 Malam kan Kalian Diatas?)

Mendengar Si Bapa bicara demikian Kami berenam langsung bengong dan kaget, karena Kami merasa bahwa hanya 1 malam melakukan perjalanan ke Gunung Malabar.

Lalu Saya bilang,

“Ah Si Bapak Mah Sok Hereuy”

(Ah Si Bapak mah Suka Bercanda) Sambil Sedikit Tersenyum, Berharap si Bapak memang sedang bercanda.

Lalu Adul menyarankan untuk membuka Handphone masing-masing siapa tau masih ada yang Baterainya tersisa dan bisa masih menyala mengingat Handphone milik Kami digunakan untuk menerangi jalan berjam-jam semalam dan kami lebih sering menggunakan Kamera Digital untuk mengambil gambar.

Ketika kami semua mengecek Handphone milik masing-masing ternyata dari semua Handphone, hanya Handphone milik saya yang masih menyala karena tidak digunakan mengingat Saya menggunakan Handphone Kipot karena bertukar Kipot yang menggunakan Headlamp milik Saya.

Lalu ketika Handphone Saya dinyalakan, ternyata si Bapak yang berkata bahwa hari itu adalah sudah hari minggu, benar melihat di Handphone saya sudah menunjukan bahwa hari itu adalah hari minggu tanggal 23 Juni 2019.

Kami pun menjelaskan kepada Bapak tersebut bahwa Kami merasa melakukan perjalanan pendakian hanya 1 malam, dan langsung turun pada keesokan hari nya yaitu pada hari Jumat.

Si Bapak yang tidak terlalu menanggapi cerita Kami langsung buru-buru menitipkan warungnya kepada kerabat yang kebetulan baru saja tiba di warung tersebut dengan motornya, untuk kemudian membawa kami ke sebuah rumah yang tidak terlalu jauh dari warung Bapak tersebut.

Setibanya disana kami langsung disuruh untuk masuk dan membersihkan diri, dan setelahnya ditanyai dan disuruh bercerita tentang peristiwa apa yang terjadi semalam yang menimpa kami sedetail mungkin, kemudian pemilik rumah yang bisa dibilang sesepuh atau orang pintar dilingkungan tersebut bilang,

“Untung wengi caralik sareng ngadua, pami henteu mah duka kumaha tah”

(Untung Saja Semalam Kalian Duduk Dan Berdoa, Kalo Engga Kalian Ga Tau Gimana Sekarang)

Saya pun berkata dalam hati,

Jadi ini jawaban dari pertanyaan kami,

“Kemana saja Kami semalam sampai tersasar 4 jam lamanya berputar-putar ditengah hutan,

Lalu ketika turun dan sampai dibawah, Kami tidak sadar bahwa hari itu sudah hari minggu?”.

Share Artikel Ini jika Bermanfaat.

---------------------------------
Sampaikanlah ilmu ini kepada orang lain. Sekecil apapun perbuatan baik yang dilakukan, akan mendapat balasan.


close