Perjalanan Spiritual Kejawen Gunung Lawu Part1
Berawal dari pembelajaran ilmu kejawen, aku (Yadi), Sigit dan Harun, kami semua berasal dari salah satu daerah di Madiun Jawa Timur.
Waktu itu kami mempunyai keinginan untuk mempelajari ilmu kejawen dengan tujuan agar dapat bisa membantu orang lain yang membutuhkan.
Kejawen merupakan kepercayaan dari sebuah etnis yang berada di Pulau Jawa. Filsafat Kejawen didasari pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf dari Jawa. Walaupun Kejawen merupakan kepercayaan, sebenarnya Kejawen bukanlah sebuah agama.
Dari naskah-naskah kuno Kejawen, tampak betapa Kejawen lebih berupa seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. Yang mana, itu tidak terlepas dari spiritualitas suku Jawa.
Dari kecil kami semua bersahabat, dan ketika kami sudah beranjak remaja dan berumur sekitar 26 tahun, kami datang ke salah satu padepokan yang berada di daerah Surabaya Jawa Timur, kedatangan kami ke padepokan itu karena kami ingin meminta tolong kepada seorang guru besar yang memiliki padepokan tersebut untuk belajar ilmu kejawen.
Setelah sampai di padepokan tersebut kamipun langsung menghadap kepada seorang guru pemilik padepokan tersebut dan bilang kalau kedatangan kami kemari karena ingin belajar ilmu kejawen.
Setelah melihat dan mendengar ucapan kami sang guru berkata,
“Untuk mempelajari ilmu tersebut tidak mudah, ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti tirakat, petualangan malam dsb”.
Karena niat kami sudah bulat untuk belajar ilmu kejawen, kamipun berani menanggung semua resiko yang dikatakan oleh guru besar tersebut .
Setelah melihat kesungguhan kami sang guru langsung menerima kami sebagai muridnya kemudian beliau berkata,
“Tunggu tiga hari lagi dan datanglah kesini lagi”.
Mendengar itu kamipun kembali pulang dan menunggu 3 hari sesuai perkataan dari sang guru kepada kami.
Singkat cerita, 3 hari kemudian kamipun datang kembali kepadepokan itu, kami berangkat dari Madiun sekitar jam 7 pagi dan sampai di padepokan sekitar jam 12 siang, sesampainya disana kamipun segera menemui sang guru lalu beliau mempersilahkan kami untuk masuk dan berkata,
“Sepertinya niat kalian sudah benar-benar bulat, kalau begitu taruh dulu barang barang kalian di kamar belakang dan temui saya di ruangan saya”.
Kamipun segera menuju dan menaruh barang-barang yang kami bawa kedalam kamar, setelah itu kami kembali lagi menghadap sang guru, lalu sang guru mengatakan apa saja yang harus kami lakukan. Malam harinya kami melakukan beberapa ritual yang dipandu langsung oleh sang guru.
Setelah melakukan ritual itu sang guru memberitahu kami tentang kegiatan malam selanjutnya,
“Besok saya akan antar kalian ke gunung lawu untuk melakukan perjalanan malam”.
Mendengar itu kami tidak banyak bertanya dan hanya menurut, dan malam itu kamipun istirahat dan mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan besok ke gunung lawu.
Pagi pun tiba, pagi itu setelah selesai sholat subuh sang guru menemui kami dan mengatakan bahwa nanti setelah dzuhur kami akan berangkat ke Gn. Lawu, dan siang harinya kamipun berangkat dan diantar langsung oleh sang guru.
Singkat cerita, sampailah kami di kawasan candi yang disebut Candi Cetho sekitar jam 8 malam.
Sesampai disitu kami mendapatkan berbagai intruksi dari sang guru yang salah satunya adalah,
“Nanti jam 12 malam kalian harus naik ke Hargo Dalem untuk mencari ayam cinde laras dan ingat, itu cuma ada satu”.
Serentak kami menjawab “Injih” (Iya).
Lalu sang guru lanjut berucap,
“Tidak hanya itu saja kalian juga harus menghindari beberapa pantangan ini”.
Beberapa pantangannya adalah, di dalam perjalanan kami tidak boleh memanggil satu sama lain dengan menyebut nama asli, mengabaikan semua yang menghalangi perjalanan dan menjaga sopan santun.
Tanpa banyak bertanya kamipun meng-iyakan intruksi dari sang guru.
Pada tahun 1999 lalu jalur pendakian gunung lawu via cetho bisa dibilang masih jarang sekali dijamah manusia, jadi yang akan kami lewati kali ini adalah benar-benar hutan rimba dengan suasana mistis didalamnya.
Sambil menunggu jam 12 malam kamipun mempersiapkan diri dan perbekalan masing-masing sebelum melakukan perjalanan.
Singkat cerita waktu sudah menunjukan jam 12 malam, kamipun berpamitan kepada sang guru untuk memulai perjalanan malam ini.
Sebelum berangkat sang guru mengajak kami semua untuk berdoa agar misi untuk mencari ayam cindelaras ini berhasil dan setelah berdoa kami bertiga mulai berjalan semmentara sang guru menunggu kami di candi cetho.
Mulai berjalan, baru saja kami memulai perjalanan beberapa gangguan sudah kami rasakan, seperti terdengar sebuah bisikan dan entah bisikan apa itu, tapi kami tidak menghiraukannya dan tetap fokus dengan tujuan.
Singkat cerita sampailah kami disebuah tempat yang mungkin sekarang disebut area Mbah Branti.
Disini aku mengajak teman-temanku berhenti sebentar karena aku merasa lapar, aku mengajak Sigit dan Harun untuk makan sebentar tapi Sigit menolak dan bilang,
“Aku belum lapar Yad, kalian makan aja dulu aku mau jalan pelan-pelan”
“Bareng aja, kita makan sebentar kok”, ucapku kepada Sigit.
“Gpp aku naik duluan, aku tunggu pelan-pelan”, jawab Sigit.
Belum sempat aku mengijinkan, tiba-tiba Sigit sudah nyelonong gitu aja sambil bilang,
“Aku tunggu kalian sambil jalan!”
Akhirnya Aku dan Harun membiarkan Sigit untuk jalan duluan.
Aku dan Harun pun makan, setelah selesai makan kami tidak langsung melanjutkan perjalanan, kami menyalakan satu batang rokok ditengah-tengah kegelapan hutan yang dingin ini.
Setelah rokok habis Aku dan Harun kembali melanjutkan perjalanan untuk menyusul Sigit yang tadi sudah berjalan duluan.
Di perjalanan Aku dan Harun mengobrol sambil memikirkan dimana tempat ayam Cindelaras yang dimaksud sang guru itu,
“Kira-kira ayam yang dimaksud guru itu ada dimana ya?”, tanya Harun kepadaku.
“Entahlah Run, kita tunggu sampai nanti subuh aja pasti ayam itu akan berkokok”, jawabku yang juga tidak tau keberada’an ayam Cendilaras itu.
Setelah beberapa menit setelah obrolan kami itu tiba-tiba Harun merasa ingin buang air kecil dan bilang kepadaku,
“Yad, aku kencing dulu ya”
“Yaudah aku jalan pelan-pelan”, jawabku dengan santai.
Akupun berjalan pelan-pelan sambil menunggu Harun yang sedang kencing.
Setelah beberapa menit berjalan Akupun berhenti untuk istirahat dan menyalakan sebatang rokok uagar menemaniku sembari menunggu Harun.
Lama menunggu, sampai rokok yang kuhisap ini habis Harun belum juga datang, Akupunberfikir,
“Mungkin Harun kembali turun dan tidak bisa melanjutkan perjalanan”.
Akupun pun malanjutkan perjalananku pelan-pelan dan aku tidak berani memanggilnya karena itu adalah sebuah pantangan.
Sambil berjalan Aku memikirkan kedua temanku karena khawatir terjadi apa-apa dengan mereka, tapi sesuai dengan niat awal Akupun tetap berfikir positif dan terus berjalan naik.
Terus berjalan, lalu dari kejauhan Aku melihat Sigit sedang duduk di antara pohon, Akupun segera menghampirinya dan sesampai disitu Sigit bertanya,
“Kamu kok sendirian dimana Harun?”
“ Harun masih di bawah, mungkin dia nyerah dan balik turun”. Jawabku dengan yakin.
Kamipun duduk santai sambil menunggu Harun, siapa tau dia menyusul, tapi sudah 30 menit kami menunggu Harun tidak juga datang.
Karena mengejar waktu kamipun segera melanjutkan perjalanan dan menganggap bahwa Harun memang sudah menyerah dan kembali turun.
Di perjalanan Sigit menceritakan kepadaku tentang apa yang dialaminya tadi ketika berjalan sendiri.
Dia bilang kalau dia tadi sempat buang air kecil dan merasa sangat merinding, dia merasa ada sesuatu yang mengawasinya ketika kencing itu, tapi mengingat pesan dari sang guru diapun mengabaikannya dan cepat-cepat menyelesaikan kencingnya. Dan setelah buang air kecil Sigit di kagetkan oleh seorang kakek tua yang tiba-tiba saja menghadangnya, kakek tua ini bertubuh pendek dan berjalan membungkuk, kakek itu sempat bilang pada Sigit,
“Le, kowe ojo nguyuh ngawur nek kowe gak gelem kenopo-nopo”
(Nak kamu jangan buang air kecil sembarangan kalau kamu tidak mau kenapa-napa)
Mendengar perkataan kakek itu Sigit terdiam dan hanya mendengar nasehat dari kakek itu sambil menundukan kepalanya, tapi kakek itu tiba-tiba tidak ada ketika Sigit akan mengucapka permintaan ma’af kepadanya.
Sigitpun mengabaikannya, dengan perasaan sedikit takut dia cepat-cepat meninggalkan tempat itu, karena merasa takut dengan perkataan kakek itu akhirnya Sigit duduk sambil menunggu Yadi dan Harun.
“Mungkin dia adalah kakek penunggu tempat itu, sudah sekarang kamu tenangkan fikiranmu dan ingat pesan guru tadi”, ucapku sembari menasehati Sigit.
Kamipun terus berjalan dan fokus dengan tujuan kami, sesampainya di area Bulak Peperangan, Sigit bilang padaku kalau dia merasa kelelahan dan Akupum mengajaknya untuk berhenti dulu.
Ketika sedang berhenti Aku mengeluarkan sebotol air minum dan beberapa makanan ringan yang ku bawa untuk dimakan dan tidak lupa Aku menawari Sigit, tapi Sigit menolaknya dengan alasan dia sudah makan tadi pas nungguin Aku datang.
Akhirnya Sigit hanya minum seteguk air dan merokok saja, sementara aku makan beberapa cuil roti kering.
Ketika sedang istirahat itu kami mengbrol santai dan Sigit bertanya padaku,
“Kira-kira ayam Cendilaras yang dimaksud guru itu dimana ya?”
“Aku juga gak tau, tunggu nanti subuh, pasti ayam itu akan berkokok”, jawabku yang juga tidak tau.
Tidak lama kemudian Sigit lanjut berkata,
“ Yad, aku buang kencing dulu ya kamu tunggu di sini”
“ Yasudah hati-hati jangan lupa permisi”, jawabku sambil menasehati Sigit.
Sigitpun berjalan menepi dan buang air kecil disela-sela rumput ilalang yang tinggi dan buang air kecil disitu, tidak lama kemudian Sigit kembali dari buang air kecilnya dan terlihat buru-buru sambil mengambil rokoknya didalam tas.
Melihat Sigit yang sedang buru-buru Akupun bertanya,
“Mau kemana lagi kok bawa rokok, kan kamu masih pegang rokok?”
“Ada orang tua minta rokok, kasian”, jawab Sigit dengan buru-buru.
Tanpa ada berfikir negatif Akupun membiarkannya.
Aku yang sedang duduk seorang diripun lalu menyalakan sebatang rokok, tapi sampai rokok yang kuhisap itu habis Sigit tidak juga kembali.
Karena takut terjadi apa-apa dengannya Aku mencari Sigit kearah tadi Sigit berjalan, Aku berjalan keliling sekitar area Bulak Peperangan sambil memanggil nama Sigit,
“Huuu,huu....”
Itu adalah kode yang kugunakan untuk memanggil Sigit karena aku tidak bisa meamnggilnya dengan nama asli, sesuai saran sang guru.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya