Keutamaan Sosok Umar bin Khattab
Umar bin Khattab lahir pada tahun 584 M sekitar 12 tahun lebih muda dibanding Nabi Saw. Hidup di lingkungan gurun tandus yang panas, di kelilingi oleh orang-orang yang berwatak keras sehingga membentuk pribadinya yang dikenal dengan kegarangannya. Dimasa muda nya Umar menjadi pemuda yang terbaik, dengan menjadi juara dalam berbagai pertarungan gulat, baik dipasar maupun ditempat lainnya.
Sama hal nya dengan Ali bin Abi Thalib, Umar sudah kesohor sebagai orang yang tidak bisa di biasakan. Selama hidupnya Umar bukan hanya keras terhadap lingkungan tapi juga terhadap dirinya sendiri, hal ini mengakibatkan tingkat konsistensi terhadap apa-apa yang dipegang olehnya sangatlah kuat bahkan hampir sulit untuk digoyahkan. Namun, hal tersebut baru benar-benar terlihat setelah dia merubah diin yang di anut sebelumnya, Kembali pada agama fitrah yakni Islam.
Setelah Umar masuk Islam, dia langsung berubah menjadi sosok yang sangat konsisten terhadap apa yang datang dari sisi Allah. Dari sini perjalanan hidup Umar menjadi gambaran praktis bagaimana teladan dalam menerapkan hukum yang di turunkan Allah, yang mesti umat Islam tiru secara terus-menerus.
Ketegasan yang dimilikinya merupakan ketegasan yang bukan semata ditunjukan pada orang lain, sebelum itu dirinya sendiri yang sudah habis di tegasi olehnya sendiri. Baik menyangkut hal besar maupun kecil semuanya dilibas tanpa sedikitpun luput, hal ini yang menjadi sesuatu yang membuatnya menjadi salah satu dari sekian banyak manusia terbaik hasil produksi manhaj Rabbani, Islam.
Dan tentu saja hal tersebut bukan lah hal yang besifat pribadi, hal ini jauh sekali dari Umar yang Muslim, begitu juga dari Islam.
Umar memang sosok yang ditakuti karena wibawa yang diberikan Allah kepadanya, yang pernah berdiri dimasjid dan berkata “Hai sekalian manusia! Dengar dan taatilah.” Lantas berdirilah Salman Al-Farisi dan berkata: “Hari ini kami tidak mendengarkan dan menaatimu.” Mendengar hal tersebut Umar tidak langsung marah dan menangkap Salman karena sudah menentangnya, atau juga menindaknya apalagi mengancamnya. Padahal bisa saja dia melakukan hal itu dengan alasan bahwa perang sedang berlangsung di perbatasan, antara dua front, dengan dua kekuatan adidaya waktu itu, dalam jangka waktu yang bersamaan.
Tentu saja dalam menghadapi hal semacam ini, pemimpin pada umumnya akan menghalalkan segala cara untuk memuluskan situasi, membungkam mulut para pengkritik penguasa. “Tidak ada suara yang lebih keras daripada suara pertempuran,” sebuah dalih yang senantiasa disampaikan para pemimpin untuk membenarkan segala tindakannya. Tapi, tidak untuk seorang penguasa muslim seperti Umar bin Khattab, beliau malah bertanya “Mengapa?” Ia ingin tahu mengapa Salman menolak untuk mendengar dan patuh pada atasannya. Dengan begitu yakin Salman menjawab: “Jelaskan dulu pada kami dari mana Anda mendapat pakaian yang Anda pakai! Tubuh Anda tinggi besar, tentu selembar kain sebagaimana didapat kaum Muslimin lainnya tak akan cukup bagi Anda.”
Setelah itu Umar lantas menjawab bahwa pakaian yang didapatnya itu dari anaknya Abdullah bin Umar. Barulah Salman berkata: “Sekarang perintahkanlah! Kami akan mendengar dan menaati.” Peristiwa ini adalah pelajaran yang amat berharga untuk ambil ibrohnya, mengapa tidak? Karena peristiwa ini bukan hanya untuk dua orang tadi saja, tapi untuk siapapun yang mau belajar darinya. Meskipun keduanya adalah tokoh yang sikapnya berada pada ranking tertinggi diantara sikap manusia pada umumnya—tetapi pelajaran ini tentu sangat berharga dalam Islam itu sendiri. Seperti itulah seharusnya penerapan ajaran Islam dalam bidang politik dan pemerintahan.
Jadi, ketegasan Umar dalam menerapkan syariat Islam terhadap warganya dibarengi dengan konsistensinya yang luar biasa untuk tetap tunduk di bawah hukum Allah. Ketegasan Umar sebagai penguasa dalam menerapkan syariat Allah diimbangi ketegasan umat dalam mengontrol sang penguasa agar tetap konsisten melaksanakan syariat. Inilah model Islam yang patut diupayakan umat untuk menerapkannya di setiap tempat dan waktu.
Referensi:
Quthb, Muhammad. 1995. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, Jakarta: Gema Insani Press.