Raja Dan Pemuda di Kisah Ashabul Ukhdud
KISAH ini terdapat di dalam shahih Muslim jilid 4/hadits no. 2005, dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
Ada seorang raja yang hidup sebelum kalian. Dia mempunyai seorang tukang sihir. Tatkala tukang sihir tersebut usianya telah tua, dia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya aku telah tua, maka kirimkanlah seorang pemuda kepadaku untuk aku ajari sihir!” Maka dikirimlah seorang pemuda kepadanya untuk diajari sihir.”
Dalam kelanjutan kisah disebutkan bahwa pemuda tersebut dalam satu perjalananya bertemu dengan seorang rahib (ahli ibadah yang mengikuti ajaran Nabi Isa), lalu dia berhenti di tempat rahib itu dan mendengarkan penuturannya.
Si pemuda merasa tertarik dengan sang rahib. Akhirnya setiap kali berangkat ke tukang sihir dia selalu mengunjungi di tempat si rahib.
Si rahib berkata, “Kalau kamu takut terhadap tukang sihir, maka katakan, ‘Keluargaku telah menahanku (untuk berangkat).’ Dan kalau kamu khawatir terhadap keluargamu maka katakan, ‘Tukang sihir telah menahanku (untuk pulang)’.”
Dalam suatu perjalanan, si pemuda melihat seekor binatang yang sangat besar, sedang menghalangi orang banyak.
Maka berkatalah pemuda itu, “Pada hari ini aku akan mengetahui apakah tukang sihir yang lebih utama ataukah sang rahib. Ya Allah kalau apa yang disampaikan rahib lebih Engkau cintai daripada yang diajarkan tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini, sehingga tidak mengganggu orang.”
Pemuda tersebut lalu melempar binatang tersebut, sehingga mati. Maka orang-orang pun dapat lewat lagi dengan aman.
Dia lalu menceritakan peristiwa tersebut kepada sang rahib, maka rahib pun berkata, “Wahai anakku, sekarang engkau lebih utama daripada diriku, engkau telah mencapai derajat yang aku impikan, dan sesungguhnya engkau nanti akan menghadapi ujian. Jika ujian itu datang maka janganlah engkau menunjukkan tentang diriku.”
Disebutkan bahwa pemuda tersebut mampu mengobati segala macam penyakit, buta, tuli, dan berbagai jenis penyakit yang beraneka ragam.
Salah seorang yang dekat dengan raja, dan ia seorang buta, mendengar tentang pemuda itu. Dia menyiapkan hadiah yang sangat banyak untuk pemuda tersebut. Dia pun berkata, “Semua hadiah ini untukmu, jika engkau dapat menyembuhkanku.”
Pemuda itu menjawab, “Sesungguhnya aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan tidak lain adalah Allah subhanahu wata’ala. Jika Anda beriman kepada Allah, maka aku akan berdoa kepada-Nya dan Dia akan menyembuhkan Anda.”
Maka orang tersebut beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, dan atas kehendak Allah dia akhirnya sembuh dari kebutaan.
Orang tersebut datang menghadap sang raja sebagaimana biasanya.
Sang raja heran lalu bertanya, “Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?”
Dia menjawab, “Rabbku.”
Raja bertanya, “Apakah kamu mempunyai Rabb selain aku?”
Lalu dijawab, ” Ya, Rabb saya dan Rabb paduka, yaitu Allah subhanahu wata’ala.”
Akhirnya sang raja menyiksa orang tersebut, dan terus-menerus menyiksanya hingga akhirnya dia bercerita tentang pemuda yang mengobatinya. Maka dipanggillah pemuda itu menghadap raja.
Raja berkata, “Hai anak muda, sungguh sihirmu telah mencapai tingkat dapat menyembuhkan orang buta dan tuli, dan engkau dapat melakukan ini dan itu.”
Si pemuda menjawab, “Sesungguh nya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, hanya Allah lah yang menyembuhkan.”
Raja lalu menyiksa si pemuda, dan dia terus menerus disiksa sehingga dia bercerita tentang sang rahib. Maka dipanggillah sang rahib, lalu raja berkata, “Tinggalkan agamamu!”
Namun rahib itu menolak.
Maka sang raja pun mengambil gergaji kemudian diletakkan persis di pertengahan kepala sang rahib, lalu menggergajinya hingga terbelah kepalanya lalu terjatuh di tanah.
Kemudian orang dekat raja (yang sembuh dari kebutaan) juga dipanggil, dan dikatakan kepadanya, “Tinggalkan agamamu.” Namun dia pun menolak, dan akhirnya dia mengalami hal yang sama sebagaimana si rahib, digergaji kepalanya hingga terbelah.
Pemuda tersebut akhirnya dibawa menghadap sang raja, lalu dikatakan kepadanya, “Tinggalkan agamamu!” Namun dia menolak.
Sang raja lalu memerintahkan agar pemuda tersebut dilemparkan dari puncak sebuah gunung.
Maka dibawalah pemuda itu ke salah satu gunung. Sesampainya di atas puncak gunung pemuda berdo’a, “Ya Allah cukupilah (tolonglah) aku dari mereka menurut kehedak-Mu.”
Maka gunung tersebut bergetar, dan akibatnya orang-orang pun jatuh terpelanting dari atas gunung, kecuali pemuda itu yang selamat. Lalu dia pulang menemui sang raja dengan berjalan kaki.
Raja pun bertanya, “Apa yang terjadi dengan orang-orang yang membawamu?:”
Pemuda menjawab, “Allah subhanahu wata’ala telah mencukupi aku dari mereka.”
Raja lalu memerintahkan agar pemuda itu ditenggelamkan di tengah laut. Namun lagi-lagi, atas pertolongan Allah subhanahu wata’ala dia selamat dari rencana itu, sedangkan orang-orang yang akan mengeksekusinya justru yang tenggelam di laut.
Pemuda berkata kepada raja, “Sesungguhya engkau tidak dapat membunuhku sebelum melakukan apa yang aku perintahkan.”
Raja lalu bertanya, “Apa itu?”
Pemuda itu menjawab, “Kumpulkan manusia di suatu tempat, lalu saliblah aku di suatu batang pohon, kemudian ambillah anak panah milikku, letakkan anak panah itu pada busurnya dan ucapkanlah,’“Dengan menyebut nama Allah, Rabb pemuda ini.’ Kemudian lepaslah anak panah ke arahku, jika engkau lakukan itu, maka engkau dapat membunuhku.”
Raja menuruti perintah pemuda, dan sebelum membidikkan anak panah, raja mengucapkan, “Dengan menyebut nama Allah, Rabb si Pemuda.”
Dan ternyata benar, pemuda itu akhirnya meninggal.
Maka orang-orang pun ramai-ramai berkata, “Kami beriman kepada Rabb pemuda.”
Betapa marahnya raja ketika melihat orang-orang telah beriman kepada Allah subhanahu wata’ala.
Dia lalu memerintahkan untuk membuat parit, kemudian dinyalakan api di dalamnya. Siapa saja yang tidak meninggalkan agamanya maka akan dilemparkan ke dalam parit itu. (Dari sinilah mereka disebut ash-habul ukhdud, yakni orang-orang yang menggali parit. Mereka adalah pembesar daerah Najran, Yaman, red)
Para hulubalang berdiri di pinggir-pinggir parit itu, mereka menawarkan kepada orang-orang, apakah memilih dilemparkan ke dalam parit ataukah mau meninggalkan agama mereka.
Dan siapa saja yang tidak meninggalkan agamanya maka dia dilemparkan ke dalam parit yang menyala.
Di salah satu tepi parit, ada seorang wanita yang sedang menggendong bayinya, dia sangat mengkhawatirkan bayi itu, dia pun ragu-ragu. Namun tanpa diduga bayi itu berkata, “Wahai ibu, bersabarlah, karena sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.”
Sumber: Ilmu Cahaya Kehidupan