KISAH ABU NAWAS MEMBATALKAN PERKAWINAN PAKSA
KompasNusantara - Pada suatu hari, salah seorang keponakan Raja yang bernama Jafar bercerita kepada Raja, bahwa ia bermimpi menikahi seorang gadis yang bernama Zainab, seorang gadis yang terkenal di Bagdad karena kecerdasan dan kecantikannya. Raja dengan tanpa berfikir mendalam langsung mengomentari cerita mimpi keponakannya.
"Wah itu mimpi yang baik, mimpimu itu isyarat petunjuk Tuhan. Begini saja, kalau kamu memang mau menikah dengan Zainab, serahkan pada pamanmu ini, biar aku yang urus.”
Sudah barang tentu Jafar, sang keponakan sangat gembira. Esoknya, Zainab dan kedua orang tuanya dipanggil menghadap raja, dan kepada mereka disampaikan bahwa ada isyarat Tuhan yang harus dilaksanakan, yaitu menjodohkan Jafar, keponakannya dengan Zainab. Biarlah kerajaan yang menyelenggarakan hajatannya.
Kedua orang tua Zainab sudah barang tentu bersukacita, tetapi Zainab sendiri tidak bisa menerimanya. Hatinya menolak keras dijodohkan, apalagi hanya berdasar mimpi, tetapi mulutnya terkunci rapat.
Kerajaan dengan bersukacita mengumumkan rencana pernikahan itu, dan tak lupa Rajapun menceritakan kepada publik mimpi keponakanya yang ia fahami sebagai isyarat dari Tuhan yang harus dilaksanakan.
Di rumah, Zainab bingung tak tahu harus berbuat apa. Kedua orang tuanya dan bahkan segenap keluarganya dalam suasana bahagia menyongsong hari perkawinan dirinya, tapi dia sendiri hatinya hancur karena tidak menyukai Jafar, keponakan raja yang ia ketahui perilakunya tidak terpuji.
Inginnya ia kabur dari rumah, tetapi itu pasti mencelakakan keluarga karena mempermalukan kerajaan. Sekedar mencari ketenangan Zainab mengadu kepada Abu Nawas.
Abu Nawas bertanya, “Kamu ingin pernikahanmu dengan Jafar berlangsung atau inginya gagal?”
“Pokoknya Saya tidak ingin menikah dengan Jafar, paman,” jawab Zainab.
Abu Nawas melanjutkan, “Jika engkau ingin perkawinan itu gagal, engkau harus segera menghadap raja dan mengucapkan terima kasih karena Paduka telah menjalankan isyarat Tuhan melalui mimpi Jafar.”
"Tapi, tapi bagaimana?” Zainab protes. “Pokoknya,” kata Abu Nawas, “jika engkau ingin perkawinan itu gagal, laksanakan kata-kata saya.”
Dengan tidak begitu faham jalan fikiran Abu Nawas, Zainab menghadap Raja dan mengucapkan terimakasih. Sudah barang tentu Raja sangat senang mendengar kata-kata Zainab.
Suatu pagi, ketika halaman kerajaan sudah didirikan tenda untuk acara pernikahan, Abu Nawas berada di atap istana raja, mencabuti genting-genting dan melemparkannya ke halaman. Sudah barang tentu gegerlah istana.
Abu Nawas di tangkap dan langsung di sidang di depan raja untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya..
Abu Nawas diancam dengan hukuman berat. Ketika Abu Nawas ditanya oleh raja tentang alasan dari apa yang dilakukan, dengan sangat sopan Abu Nawas menjawab. “Paduka tuanku junjungan kami, ampunilah hamba orang kecil ini, hamba adalah orang kecil yang selalu mengidolakan baginda. Apapun yang menjadi kehendak paduka, kami selalu mengikutinya. Paduka junjungan kami, tiga malam berturut hamba bermimpi menaiki atap istana tempat paduka bersemayam. Hamba gelisah, dan akhirnya hamba yakin bahwa mimpi hamba adalah isyarat dari Tuhan untuk menyelematkan paduka, dari ancaman yang kita belum tahu.
Jangan-jangan di atap ada ancaman terhadap baginda. Oleh karena itu sebelum bencana itu menimpa baginda, hamba segera naik atap untuk melaksanakan isyarat Tuhan yang kami dapati dalam mimpi kami. Mohon ampun baginda.”
Sang Raja termenung mendengar jawaban Abu Nawas. Raja sadar bahwa Abu Nawas itu orang cerdas. Raja pun sadar bahwa mengambil keputusan berdasar mimpi Jafar, keponakannya adalah sangat tidak bijaksana, bahkan berbahaya.
Terbayang dalam fikiran Raja, apa lagi yang akan dilakukan Abu Nawas besok-besoknya dengan alasan mimpi. Sungguh berbahaya. Akhirnya Raja membatalkan rencana menikahkan Zainab dengan keponakannya.