Al-Battani, Astronom Muslim Penentu Jumlah Hari Dalam Setahun
Baca Juga : Penemu-penemu Islam
1. Jabir Al-Battani
2. Al-Khawarizmi
3. Al-Idrisi
4. Al-Jazari
5. Al- Zahrawi
6. Abu Al-Wafa'
7. Ibnu Batutah
Al-Battani merupakan salah seorang ahli astronomi dan matematikawan muslim pada abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Salah satu karyanya yang cukup populer adalah Kitab al-Zij, yang pada abad ke-12 diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Scientia Stellarum atau De Motu Stellarum.
Berkat penemuannya, saat ini kita bisa mengetahui bahwa dalam setahun ada 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik (sumber lain menyebut 365,24 hari). Penemuan Al-Battani ini dianggap akurat, bahkan keakuratan pengamatan yang dilakukan Al-Battani ini membuat seorang matematikawan asal Jerman bernama Christopher Clavius menggunakannya untuk memperbaiki kalender Julian.
Atas izin Paus Gregorius XIII, kalender lama akhirnya diubah menjadi kalender yang baru dan mulai digunakan pada tahun 1582. Kalender inilah yang kemudian banyak digunakan oleh masyarakat hingga saat ini (Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).
Pengikut dan Penyempurna Teori Ptolomeus
Al-Battani lahir sekitar tahun 858, di Harran. Ia memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-Battani. Orang Eropa menyebut Al-Battani dengan sebutan Albategnius.
Ia adalah anak dari ilmuwan astronomi, Jabir Ibn San'an Al-Battani. Keluarga Al-Battani merupakan penganut sekte Sabian yang melakukan ritual penyembahan terhadap bintang. Namun, Al-Battani tidak mengikuti jejak nenek moyangnya. Ia memilih memeluk agama Islam.
Secara informal, Al-Battani dididik ayahnya yang juga seorang ilmuwan. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya pada bidang keilmuan yang digeluti ayahnya. Ketertarikan pada benda-benda yang ada di langit membuat Al-Battani kemudian menekuni bidang astronomi tersebut.
Kemudian, Al-Battani kecil mengikuti keluarganya pindah ke Raqqah. Di tempat baru ini ia mulai menekuni bidang astronomi, mulai dari melakukan beragam penelitian hingga menemukan berbagai penemuan cemerlang. Sayang, tidak ada data spesifik mengenai pendidikan formal Al-Battani. Misalnya, tidak ada data yang menyebutkan di mana Al-Battani belajar sains (Frank N. Magill (ed), The Middle Ages: Dictionary of World Biography, Volume 2, 1998).
Dalam literatur hanya disebutkan bahwa semasa mudanya Al-Battani belajar di Raqqah. Di tempat barunya itu, ia tekun mempelajari teks-teks kuno, khususnya karya Ptolomeus, yang kemudian menuntunnya untuk terus mempelajari astronomi. Bidang keilmuan yang ditekuninya itu kelak membuatnya menjadi terkenal tidak hanya di kalangan umat Muslim, melainkan juga di dunia Barat.
Al-Battani terpesona dengan teori kosmologi geosentris yang berkembang pertama kali di Yunani. Meskipun Al-Battani adalah pengikuti teori kosmologi geosentris Ptolomeus, namun data observasinya berjasa bagi Nicholas Copernicus untuk mengembangkan teori kosmologi heliosentris yang turut mempelopori revolusi sain pada abad ke-16 dan 17.
Seperti Astronom Arab lainnya, Al-Battani mengikuti tulisan-tulisan Ptolomeus dan mengabdikan dirinya untuk mengembangkan karya Ptolomeus, The Almagest. Saat mempelajari The Almagest inilah Al-Battani menemukan penemuan besar, yaitu titik Aphelium. Titik Aphelium adalah titik terjauh bumi saat mengitari matahari setiap tahunnya.
Ia menemukan bahwa posisi diameter semu matahari tidak lagi berada pada posisi yang dikemukakan oleh Ptolomeus. Penemuan ini sangat berbeda dengan teori yang disampaikan oleh Ptolomeus dan astronom Yunani sebelumnya. Namun, baik Al-Battani maupun astronom penganut Ptolomeus lainnya tidak dapat mengemukakan penjelasan di balik perbedaan tersebut.
Joseph A. Angelo menyebut bahwa Al-Battani memperbaiki tatanan tata surya, lunar, dan mengembangkan teori Ptolomeus dalam buku The Almagest menjadi lebih akurat. Pengamatan akurat
Al-Battani ini juga memungkinkan ia memperbaiki pengukuran Ptolomeus tentang kemiringan sumbu. Ia juga melakukan pengamatan lebih akurat mengenai ekuinoks (saat matahari tepat melewati garis ekuator bumi) pada awal musim gugur. Melalui pengamatan inilah Al-Battani mampu menemukan bahwa dalam setahun ada 365,24 hari (Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).
Berkah Kejayaan Dinasti Abbasiyah
Keleluasaan Al-Battani dalam mempelajari teks-teks kuno, khususnya karya Ptolomeus, yang mendorongnya menemukan teori baru dan berkontribusi besar dalam trigonometri, tidak lepas dari kejayaan yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah, terutama pada era Khalifah Harun al Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun (813-833 M).
Pada masa itu, misalnya, Dinasti Abbasiyah mengirim tentaranya menuju Mesir, Syiria, dan sepanjang tepi barat Laut Mediterania. Dalam penaklukan tersebut, dikuasai pula perpustakaan-perpustakaan kuno, salah satunya yang terkenal di Alexandria, Mesir. Pemimpin yang berkuasa saat itu kemudian memerintahkan untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip itu ke dalam Bahasa Arab.
Situasi saat itu sangat menguntungkan, apalagi kekaisaran Romawi mulai runtuh di Eropa Barat. Pada saat itu orang Kristen Nestorian sibuk melestarikan dan mengarsipkan ke dalam bahasa Yunani. Khalifah Harun al Rasyid memerintahkan untuk membeli semua buku tersebut.
Pengganti Harun al Rasyid, yaitu Khalifa Al-Makmun (813-833) melangkah lebih jauh lagi. Al-Makmun dikenal sebagai pemimpin yang sangat cinta kepada ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan.
Sebagai bagian dari perjanjian damai dengan Kaisar Bizantium, Khalifah Al-Makmun menerima manuskrip Yunani setiap tahunnya. Salah satu upetinya adalah buku sintesis karya Ptolemeus tentang astronomi kuno Yunani. Buku ini kemudian dikenal secara luas dengan sebutan The Almagest. Jadi warisan kosmologi geosentris dari Yunani kuno selamat dari runtuhnya Kekaisaran Romawi dan abad kegelapan berikutnya di Eropa Barat.(Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).
Selain menerjemahkan manuskrip-manuskrip ilmu pengetahuan ke dalam Bahasa Arab, Al-Makmun juga mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. (Thomas F. Glick, dkk (ed): Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia, 2005).
Al-Battani yang lahir dan besar saat ilmu pengetahuan berkembang pesat, membuatnya cukup leluasa untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang disenanginya. Ia membaca manuskrip-manuskrip ilmu pengetahuan, khususnya karya Ptolomeus, yang kemudian menuntunnya untuk terus mempelajari astronomi.
Namun, para astronom Arab, termasuk Al-Battani tidak hanya berkiblat pada Ptolomeus. Mereka melakukan pengamatan sendiri dan sering melakukan penelitian kembali dengan menggunakan instrumen yang lebih baik.
Selama Al-Battani sibuk melakukan observasi tentang astronomi antara tahun 878 hingga 918, ia tertarik pada konsep matematika dari ilmuwan yang mengembangkan ilmunya di India. Konstribusi terbesar Al-Battani pada ilmu astronomi adalah pengenalan penggunaan trigonometri. Konstribusi ini memberikan pengetahuan baru mengenai penghitungan matematika yang lebih kompleks bagi para astronom lain dan masih digunakan hingga sekarang.
Ia meninggal pada tahun 929 di Qar al-Jiss (sekarang di Irak modern) dalam perjalanan pulang dari Bagdad. Berabad-abad setelah kematian Al-Battani, ringkasan pemikirannya yang terangkum dalam Kitab al-Zij masih digunakan sebagai pedoman pada zaman Renaisance dan memberikan banyak pengaruh terhadap astronom dan astrolog Barat. (Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).
Al-Battani dianggap sebagai astronom terbaik dan terkenal dari peradaban Islam pada abad pertengahan. Salah satu karyanya yang paling populer, yakni Kitab al-Zij, kemudian pada abad ke-12 diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robertus Retinensis. Pada abad ke-13, Raja Alfonso dari Spanyol kembali menterjemahkan Kitab al Zij tersebut.
Kitab al Zij, yang lebih dikenal sebagai De Scientia Stellarum atau De Motu Stellarum, kemudian diteliti oleh sarjana orientalis Italia bernama C. A. Nallino yang mengedit dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin.
Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam -- melalui para sarjana dan pemikir muslim -- pernah, sedang dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".