Kisah Kyai Tunggul Wulung, Si Penjaga Kawah Gunung Kelud
KompasNusantara - Dari semula gunung yang menjulang tinggi itu mengundang rasa ingin tahu manusia kebanyakan. Pasti ada apa-apanya di sana, begitu mungkin logika nenek moyang kita dulu. Bayangkan, dari sekian luas tanah membentang tiba-tiba ada sebidang tanah menjulang tinggi ke angkasa, diselimuti dengan pepohonan rapat yang membangkitkan misteri ada apa di bagian puncaknya.
Itu baru gunung biasa, apalagi sebuah gunung berapi. Pastilah dulu nenek moyang kita sangat takjub dan karenanya menaruh respek kepada keberadaan gunung berapi. Bagaimana tidak? Gunung yang biasanya tenang dan kalem tiba-tiba bisa menggelegak dan memuntahkan amarahnya berupa lava, lahar dan bebatuan pijar. Lalu logika kuno itu pun menarik kesimpulan bahwa pastilah gunung berapi itu menyimpan misteri kekuatan, misteri kekuasaan yang mungkin saja akan mempengaruhi nasib manusia sekitarnya.
Masuk akal bukan logika kuno tersebut? Karena itu jangan heran kalau dalam cerita-cerita suci gunung menempati posisi tersendiri. Salah satu contoh yang mudah diingat adalah Nabi Musa, diceritakan bahwa dia menerima dua loh batu berisi 10 perintah Tuhan di atas puncak Gunung Sinai yang saat itu dipenuhi kilat dan petir.
Bagaimana dengan kepulauan Nusantara dalam menyikapi fenomena gunung berapi? Sama saja. Hampir semua bangunan-bangunan suci masa silam dibangun di wilayah gunung berapi. Ambil contoh kompleks Candi Gedong Songo di Gunung Ungaran itu. Lalu kompleks candi kuno di pegunungan Dieng. Bukankah sampai saat ini sebagian masyarakat Jawa masih menyakini bahwa Puncak Mahameru adalah puncak kediaman para dewa? Bukankah masih ada yang meyakini bahwa Gunung Tidar adalah pakunya Pulau Jawa?
Ada satu kisah tentang Gunung Kelud yang bertalian erat dengan kepercayaan Jawa sekaligus berkaitan dengan masyarakat di Jawa. Saya ingin membagikannya kepada Anda. Sekedar berbagi, tidak ada maksud lain, karena saya yakin sangat sedikit dari Anda yang pernah mendengarkan kisah ini.
Banyak cerita tentang Kyai Tunggul Wulung dengan berbagai versi. Namun yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kisah Kyai Tunggul Wulung, si penjaga kawah Gunung Kelud yang ditugaskan untuk mengarahkan lava Kelud agar tidak memakan banyak korban.
Menurut Babad Kediri, Raja Jayabaya yang memerintahkan kerajaan kediri mempunyai dua abdi bernama Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai Daha dijadikan patih yang taat berganti nama menjadi Buta Locaya, sementara Kyai Daka dijadikan senopati perang, dengan nama Tunggul Wulung.
Saat Raja Jayabaya muksa, keduanya juga ikut muksa. Buta Locaya ditugaskan untuk menjaga Selabale (gua Selomangleng), sedangkan Tunggul Wulung diperintahkan untuk menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak banyak merusak desa sekitar, dan memakan banyak korban jiwa.
Konon, nantinya Raja Jayabaya akan datang kembali, dan tugas Tunggul Wulung adalah mempersiapkan kedatangan sang raja yang telah muksa.
Menurut buku berbahasa Jawa klasik berjudul, Goenoeng Keloed, karya R. Kartawibawa, terbitan badan Penerbitan G Kolff & Co tahun 1941, sosok Kyai Tunggul Wulung tidak jauh beda seperti yang dijelaskan dalam Babad Kediri, yakni orang asli Kediri yang merupakan abdi Raja Jayabaya. Dia ditugaskan untuk menjaga Gunung Kelud agar bersahabat dengan manusia dan alas di sekitarnya.
"Kyai Tunggul Wulung ini tidak mengganggu manusia. Malah justru melindungi jika ada marabahaya, supaya orang selamat jika tersesat misalnya," demikian tertulis di halaman 18 buku terbitan tahun 1941 tersebut.
Dijelaskan dalam buku itu, tempat bersemayam Kyai Tunggu Wulung berada di lereng Kelud bagian timur laut, dekat dengan kawah. Konon daerah tersebut sangat wingit. Banyak orang kerasukan dan menjumpai hal-hal gaib yang tak masuk akal.
"Misalnya jika Kyai Tunggul Wulung tidak berkenan saat ada orang yang masuk ke daerahnya, maka tiba-tiba akan terdengar suara gemuruh di bagian barat Kelud, tak lama kemudian akan muncul hujan badai, suasana jadi gelap gulita seperti malam," demikian ditulis di halaman 18.
Bagi orang yang 'mengerti', agar tidak menemui mara bahaya saat hendak masuk ke Gunung Kelud, terlebih dahulu mereka membakar kemenyan, berharap tidak diganggu oleh Kyai Tunggul Wulung.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan, untuk menghindari bahaya saat Gunung Kelud meletus, orang zaman dulu menutup rapat-rapat pintu rumahnya, kemudian orang-orang mengamankan diri dengan memanjat pohon rangon. Sehingga, lava, air, pasir, lumpur, bebatuan yang mengalir deras dari puncak Kelud tidak mengenai mereka, dan nyawa pun selamat.
Sumber kepustakaan: Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2003 (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 28 November 2011)KETENTUAN KONTEN