Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tedong Saleko, Kerbau Tana Toraja Berharga hingga Rp 1 Miliar


KompasNusantara - Bagi rakyat Tana Toraja di Sulawesi Selatan (Sulsel), meyakini kerbau adalah kendaraan bagi arwah menuju Puya (Alam arwah, atau akhirat). Kerbau pun punya kedudukan unik bagi penduduk Toraja. Ia diternakkan dan sebagai alat pembajak sawah, sekaligus diakui hewan sakral dan simbol status sosial.

Yoshafat, tokoh adat berasal dari Tana Toraja, mengatakan, kerbau dinilai sesembahan tertinggi bagi rakyat adat Toraja yang meninggal, lewat ritual rambu solo’. Rambu Solo’ itu dilaksanakan sampai berhari-hari, lebih-lebih ada yang berminggu-minggu, dan dihadiri ribuan warga. Salah satu ritual utama adalah penyembelihan kerbau. 

Di dalam kepercayaan Aluk To Dolo, atau agama Toraja kuno, rambu solo’ dilakukan keluarga bangsawan. Makin tinggi nilai kebangsawanan, makin besar dan mewah pula acara. Belakangan ritual ini diperbolehkan juga untuk non bangsawan, namun mempunyai keuangan lumayan. 

“Sekarang siapa pun diperbolehkan, meski dulu hanyalah kalangan bangsawan. Tapi, bukan seluruh tempat di Toraja boleh. Di lebih dari satu tempat terus mengacu kepada keputusan Aluk To Dolo, hanya boleh bangsawan,” katanya kepada Mongabay, awal Desember 2020. 

Di dalam ritual kematian ini, kerbau yang dikorbankan benar-benar tergantung hasil rembuk keluarga besar. Tersedia hingga menyembelih 1.000 kerbau. Syarat yang harus ada minimal 40 ekor dan puluhan babi. Didalam rembuk ini, biasa juga ditetapkan kapan ritual dilakukan. 

Selama ritual berkabung belum dilakukan, jasad tetap berada di dalam rumah adat yang disebut tongkonan dan dibungkus sebagian helai kain. Segala keperluan hidup wajib diberikan, layaknya sandang, sajian makanan bahkan terus diputarkan acara TV favorit.

  

Hal menarik didalam ritual ini adalah model kerbau yang dikorbankan ternyata punyai kasta bermacam, antara lain tedong bonga, tedong pudu’ dan tedong sambao’. Tedong bonga adalah kerbau bersama dengan kasta tertinggi. Dinamai bonga sebab miliki belang di sekujur tubuh. Tedong bonga ini mempunyai lebih dari satu style, didasarkan model dan belang berada. 

Tersedia bonga sanga’daran, yaitu kerbau belang bagian mulut didominasi rona hitam. Tersedia juga bonga randan dali’ jikalau rona alis mata hitam. Juga bonga lotong boko’ jikalau punyai rona hitam di bagian punggung. Tedong bonga bersama dengan nilai tertinggi adalah tedong saleko atau kerbau belang paling baik. Kulit didominasi rona putih pucat, bersama bercak atau belang hitam di sekujur tubuh. 

Menurut Yoshafat, tedong saleko inilah merupakan kerbau harga termahal, berasal dari ratusan juta sampai miliaran rupiah. Harga termahal tergantung kondisi kerbau tersebut, yaitu berasal dari belang, panjang tanduk, tanda spesifik di tubuh, sampai panjang ekor. “Makin besar tanduk, makin panjang ekor, kalau lokasi belang di daerah persyaratan, makin mahal. Paling akhir saya mendengar tersedia terjual Rp1 miliar per ekor.” 

Tersedia juga tedong pudu’, karakteristik berwarna hitam dan fisik kuat. Kerbau ini biasa sebagai kerbau aduan di akhir acara rambu solo’. Harga bisa setengah dari tedong bonga. Kasta kerbau lain tedong sambao’, yaitu kerbau kasta terendah. Kerbau ini berwarna kulit abu-abu atau coklat, hampir menyerupai kulit sapi. Inilah type kerbau paling banyak disembelih pas rambu solo’. 

Tedong saleko, kerban endemik Toraja. Ia benar-benar mahal barangkali dikarenakan digunakan buat ritual, dan sulit beroleh kerbau ini. Dibanding kerbau lain, proses pembiakan saleko nisbi susah sebab era ereksi betina yang sulit diketahui. “Sangat beruntung dan dinilai berkah jika ada yang sanggup membiakkan. Benar-benar sulit memperoleh,” kata Yoshafat. 

Meski demikian, baru-baru ini Forum Pengetahuan Ilmu Indonesia (Lipi) (2020), melaporkan mampu membiakkan lewat teknologi transfer embrio. 

Keperluan kerbau di Sulsel tinggi, terutama buat ritual kematian rambu solo’ ini. “Diperkirakan tiap-tiap th lebih kurang 18 ribu kerbau dipotong sebagai bagian berasal dari upacara adat di Tana Toraja, atau lebih kurang 70 presen kerbau di tempat ini. Tetapi tak dibarengi produksi yang memadai,” kata Syamsuddin Hasan, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, terhadap acara Buffalo International Conference 2020 di Makassar, awal November lalu.


Dia mengatakan, kalau tak dibarengi upaya peningkatan produksi ternak, populasi kerbau di Sulsel makin terbatas. Lebih-lebih keperluan kerbau makin meningkat tiap-tiap th, bersamaan peningkatan kesejahteraan rakyat. 

Kenyataan penurunan populasi kerbau ini juga berlangsung secara nasional. Kalau thn 1990-An, populasi kerbau mencapai 3,5 juta ekor, kini diperkirakan merosot sampai 1 juta ekor. “kecuali jika langsung tersedia upaya budidaya intensif berbasis teknologi, sanggup berdampak kelangkaan ternak ini.”

Di Sulsel, peternakan kerbau banyak ditemukan di dua tempat, yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Di kedua tempat ini kerbau jadi ternak primer, sebagai salah satu unsur penting didalam ritual kematian. 

Penurunan populasi kerbau juga disebabkan, alih kegunaan mekanisasi pertanian dan luas lahan penggembalaan atau perkubangan kerbau berkurang. “Ini gara-gara beralih  fungsi jadi lahan pemukiman dan industri.” 

Padahal, kata Syamsuddin, budidaya kerbau sebenarnya benar-benar menguntungkan. Karena, tak sekedar produksi daging, susu kerbau pun jauh lebih sehat dibanding susu sapi, rendah kolesterol dan baik untuk penderita diabetes.
close