Kisah Budak yang Dapat Merubah Batu Jadi Emas
KompasNusantara - Malam tersebut, budak milik Abdurrahman bin Zaid tak berada di rumah. Padahal, menurut kesepakatan, ia hendaknya melayani keperluan majikannya tiap-tiap malam. Keesookan harinya, budak tersebut memberi Abdurrahman sekeping dirham yang bertuliskan surat al-ikhlas. Abdurrahman terkejut dan bertanya, “Berasal dari mana anda memperoleh dirham ini?”
“Wahai Tuanku, aku akan memberimu seperti ini setiap malam. Asalkan engkau tidak menyuruhku bekerja melayanimu setiap malam,” jawab si budak. Abdurrahman pun setuju. Setiap malam, si budak selalu pergi dan kembali di pagi hari.
Beberapa waktu kemudian, teman-teman Abdurrahman menyarankannya untuk menjual saja budak tersebut, sebab menurut mereka budak itu merupakan tukang gali kubur (Ia kerja di daerah lain juga).
Atas dasar kabar itulah, Abdurrahman berniat untuk memantau kemana budak tersebut pergi. Di sebuah malam, Abdurrahman menyaksikan budak tersebut lakukan hal yang luar biasa, yakni membuka pintu bersama dengan sekedar menunjuknya saja. Budak tersebut pun pergi dan Abdurrahman mengikuti di belakangnya (Tanpa sepengetahuan si budak).
Mereka pada akhirnya tiba di suatu tanah lapang. Si budak jalankan shalat sampai fajar tiba. Ia berdoa, “Wahai Tuhan yang Maha besar, aku mohon engkau memberi balasan kepada tuanku yang maha kecil tersebut!” Seketika, sekeping dirham jatuh. Melihat hal tersebut, Abdurrahman takjub.
Kemudian, Abdurrahman pun juga lakukan shalat. Ia memohon ampun kepada Tuhan atas prasangkanya kepada budak tersebut (Yang ia tuduh sebagai seorang penggali kubur). Ia juga berniat untuk memerdekakan budak tersebut.
Sehabis shalatnya selesai, ia menoleh ke arah budak tersebut, tapi si budak sudah tidaak ada di tempat. Abdurrahman pun memutuskan untuk pulang ke tempat tinggal. Di saat perjalanan pulang, ia berkunjung ke sebuah bangunan untuk beristirahat. Ia tak memahami tempat mana yang ia singgahi sementara itu.
Tiba-Tiba seorang berkuda melaluinya dan bertanya, “Wahai Abdurrahman, kenapa anda di sini?”
“Aku ada urusan ini, itu dan lain-lain,” jawab Abdurrahman.
“Apakah engkau sudah tau tau jarak dari sini ke rumahmu?,” tanya orang berkuda tersebut.
“Tidak,” jawab Abdurrahman singkat.
Orang berkuda tersebut berkata, “Jaraknya sejauh perjalanan dua th kalau ditempuh bersama kendaraan (hewan, dll) yang terlalu cepat. Saranku, mendingan anda tidak usah pulang dulu. Tunggu saja sampai malam tiba, budakmu akan singgah kesini kembali!”.
Malam pun tiba. Si budak berkunjung menemui Abdurrahman bersamaan membawa wadah yang berisikan aneka makanan. Budak tersebut berkata, “Makanlah Tuanku!. Aku harap anda tidak melakukan hal seperti ini kembali!” (Mengikutinya).
Abdurrahman menyantap makanan sedangkan si budak melaksanakan shalat lagi sampai fajar tiba. Sesudah hal tersebut, sambil menggenggam tangan Abdurrahman, budak itupun merapal doa dan berkata, “Melangkahlah wahai Tuanku!”
Baru saja Abdurrahman melangkah dua kali, ia sudah sampai di tempatnya semula (Desanya). Si budak pun berkata, “Bukankah engkau sudah berniat untuk memerdekakan aku?”.
“Iya,” jawab Abdurrahman.
“Jika begitu, aku akan mengambil hargaku dan engkau akan meraih balasannya,” jawab si budak (Maksudnya, budak itu akan mengambil sesuatu yang akan ia berikan kepada Abdurrahman sebagai ganti rugi)
Si budak pun mengambil sebongkah batu dan ia berikan kepada Abdurrahman. Abdurrahman selanjutnya memerdekakan budak tersebut. Secara tiba-tiba, batu yang dipegang Abdurrahman tersebut jadi sebongkah emas. Ia pun pulang ke rumahnya bersama dengan penuh rasa bingung dan sedih gara-gara berpisah bersama budak tersebut. Beberapa hari kemudian, tak terhitung banyaknya orang yang singgah kepada Abdurrahman menanyakan kenapa budak tersebut di lepaskan. Abdurrahman menjelaskan segala hal yang ia alami dengan si budak ajaib tersebut.
___________
Kisah di atas penulis ringkas berasal dari kitab al-nayl al-hatsits fii Hikayat al-hadits karya Abu Hafs Umar bin al-husain Al-Samarqandi. Salah satu hikmah yang mampu kami ambil berasal dari kisah ini adalah betapa status sosial tersebut tak sanggup menjadi ukuran untuk menilai seseorang, apakah ia dekat bersama dengan Tuhan atau Tidak.
Bisah jadi, orang yang di mata manusia terlihat biasa saja atau bahkan hina, tapi ternyata ia begitu istimewa di hadapan Allah. Demikian sebaliknya. Kemewahan dunia (Harta, tahta, dan lain-lain) benar-benar tak ada hubungannya dengan kebaikan ibadah seseorang. Pasalnya, yang jadi ukuran ketaatan adalah hati, tidak fisik/harta.
Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami sudah menciptakan Kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, sesudah itu kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku sehingga kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Teliti” (Qs. Al-Hujurat [49]: 13)
Tidak satu poin dalam ayat di atas adalah kemuliaan seseorang di sisi Allah ditentukan oleh ketakwaannya, tidak banyaknya pengikut atau tingginya nasab. Begitu kurang lebih penjelasan didalam tafsir al-sa’di.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sungguh, Allah tidaklah melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian” (Hr. Muslim)
Walhasil, kemewahan dunia yang dimiliki memang biasanya menjadi standar kemuliaan ketika hidup di dunia. Namun hal itu tidak menjamin seseorang menjadi orang mulia di hadapan Allah. Cuman mereka yang taat sajalah yang mendapat tempat mulia di sisi-nya. Semoga kita terhitung hambannya yang takwa. Amin.