Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Bertemu Nabi Khidir Saat Berangkat ke Baghdad


KompasNusantara – Dalam tulisan ini, saya akan membahas tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bertemu Nabi Khidir. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bertemu Nabi Khidir beberapa kali. Di antaranya waktu berangkat ke kota Baghdad untuk belajar.

Dalam buku Samsul Ma’arif yang berjudul “Berguru pada Sulthanul Auliya’: Kisah dan Hikmah dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Sang Pemimpin Para Wali” diceritakan dua riwayat pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan Nabi Khidir as.

Pertama adalah riwayat pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan Nabi Khidir as saat beliau mau memasuki Kota Baghdad. Kedua adalah riwayat pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan Nabi Khidir as di sungai Oxus.

Dalam tulisan ini, saya akan membahas tentang pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan Nabi Khidir as saat beliau akan memasuki Kota Baghdad untuk belajar.

Ada 2 versi dari cerita ini yang ditulis Samsul Ma’arif dalam bukunya.

Versi pertama, diceritakan, sewaktu usia Syaikh Abdul Qadir al-Jailani masih muda, beliau sudah meninggalkan kampung halamannya di Jilan, menuju perantauan mencari ilmu di Kota Baghdad.

Saat mau memasuki Kota Baghdad, tiba-tiba, Nabi Khidir muncul lantas berkata, “Aku tak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan.” Setelah berkata demikian, tentunya, Nabi Khidir pun pergi entah ke mana.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun tak memasuki Kota Baghdad, beliau masih menetap di dekat sungai Tigris selama 7 tahun. Selama itu, beliau hanya makan sayur-sayuran seadanya.

Hingga suatu malam, ada suara yang menyuruhnya, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.” Maka esok harinya, beliau pun memasuki Kota Baghdad.

Versi kedua, ceritanya sama dengan pertama, namun ada beberapa perbedaan. Saat mau memasuki pintu gerbang Kota Baghdad, tiba-tiba, ada Nabi Khidir yang datang menemuinya dan berkata, “Duduklah kamu di tempat ini, dan jangan beranjak sedikit pun, hingga aku datang kembali kemari.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun tinggal di puing-puing Kota Madain, Persia, selama 3 tahun. Pada tahun pertama, Nabi Khidir as datang menemuinya lantas berkata, “Teruskan saja tinggal di tempat ini sampai aku datang lagi menjengukmu ke sini.”

Selama masa menunggu itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani hanya memakan sayur-sayuran seadanya. Beliau pun banyak melakukan ibadah pada Allah SWT.

Konon, pada tahun pertama beliau hanya makan sayur-sayuran saja tanpa minum. Tahun kedua, beliau hanya minum saja tanpa makan. Dan di tahun ketiga, beliau sudah bisa bertahan tanpa makan dan minum.

Kedua versi cerita ini sebenarnya merupakan 1 kisah, namun sudah terjadi perbedaan redaksi dalam perjalanan riwayatnya. Intinya, baik versi pertama atau kedua sama-sama menceritakan perihal pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan Nabi Khidir as, saat beliau mau menuntut ilmu di Kota Baghdad.

Sebagian kalangan umat muslim, tak setuju dengan kisah-kisah keramat semacam ini. Apalagi seputar pola makan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang konon tahun pertama hanya makan sayur, tahun kedua hanya minum, dan tahun ketiga tanpa makan dan minum.

Bagi sebagian kalangan, itu dianggap hal yang takhayul dan khurafat. Padahal, kalau mau melihat dari kacamata hikmah, sebenarnya, cerita itu menggambarkan bagaimana mujahadah atau perjuangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pada fase awal menuntut ilmu.

Kalau melihat dari kacamata ini, maka kisah pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Nabi Khidir as akan memberikan dampak yang positif bagi umat muslim.

Di mana dalam perjuangan menuntut ilmu seorang pelajar harus senantiasa berjuang dan berusaha untuk tak kalah dengan serba keterbatasan hidup di tanah rantau.

Kalau seorang mahasiswa kehabisan makanan, maka ingatlah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang hanya bisa makan sayur-sayuran seadanya dalam kisah di atas. Biar tetap bersyukur di kala keterbatasan di tanah rantau.

Kalau santri di pondok hanya makan 2 kali sehari, itu pun hanya nasi tahu tempe. Ingatlah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga hanya makan sayur-sayuran seadanya tanpa nasi pula. Ini juga untuk melatih kesederhanaan dalam hidup, khususnya pada pola makan.

Selain itu, makna dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang belum bisa masuk belajar di Kota Baghdad, juga bisa bermakna kalau dalam belajar kita juga perlu menyiapkan diri, agar saat belajar akan bisa benar-benar siap dengan pelajaran yang akan didapat nantinya.

Dengan demikian, kalau melihat dari kacamata hikmah,  kisah itu bisa menjadi spirit kehidupan untuk umat muslim. Dan tak perlu menjadi spirit perdebatan seputar takhayul, khurafat, dan lainnya.

Selain kisah ini masih banyak lagi, amat banyak, kisah keramat para wali. Yang juga, kalau melihatnya dengan kacamata hikmah, tentu bisa menjadi pelajaran hidup plus motivasi untuk meningkatkan ketaatan pada Allah SWT.

close